Rancang Bangun Ekonomi Islam
Dalam pembahasan
ekonomi Islam, terlebih
dahulu akan dibahas mengenai rancang bangun ekonomi
Islam. Rancang bangun ekonomi Islam terdiri atas landasan, tiang dan atap.
Dengan mengetahui rancang bangun ini, diharapkan akan dapat memahami lebih
lanjut tentang ekonomi Islam itu sendiri.
Tauhid
(Keesaan Tuhan)
Esensi
paling dasar dari fondasi ajaran Islam adalah Tauhid (keesaan tuhan). Bertauhid
artinya, meniadakan semua elemen, zat yang patut disembah kecuali Allah (QS
2:107, 5:17,120, 24:33). Karena Allah adalah Maha Pencipta alam semesta (QS
6:1-3) sekaligus pemilik dan pemeliharanya. Allahlah yang memiliki segala
sesuatu. Kepemilikan yang dikuasai manusia sekedar amanah dari Allah, yang
diberikan sebagai batu ujian bagi manusia. Segala sesuatu yang ada tidaklah
diciptakan Allah dengan sia-sia, melainkan ada tujuannya (QS 23:115). Manusia
diciptakan Allah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya (QS 51:56). Dalam
kerangka ini, segala tindakan manusia yang berhubungan dengan alam (sumber
daya) dan manusia (muamalah) tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan
Allah. Karena, kepada
Allah lah nantinya
segala perbuatan (termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis)
akan dipertanggungjawabkan.
Adl
(Keadilan)
Sifat adil
('adl) menjadi sifat-Nya dalam segala hal.
Sebagai wujud keadilan, Allah
tidak membeda-bedakan makhluk berdasarkan kriteria ras, kekayaan, kecantikan,
tapi siapa yang paling bertaqwa di antara mereka. Untuk menjaga keadilan
di dunia, Allah
menitahkan manusia untuk
memelihara hukum Allah dan menjamin segala sumber daya diarahkan untuk
kesejahteraan manusia (QS 2:30).
Dengan
cara itu, semua manfaat dari sumber daya dapat didistribusikan secara
adil. Adil secara sederhana diartikan
sebagai "tidak menzdalimi dan tidak
dizdalimi". Adil dalam ekonomi berarti setiap usaha pelaku ekonomi tidak
boleh hanya didasari motif untuk mengejar keuntungan pribadi dengan merugikan
orang lain atau merusak alam sekitar. Bila nilai keadilan hilang, maka manusia
akan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok. Kelompok yang satu dianggap akan
menjadi ancaman bagi kelompok lainnya. Pada akhirnya, yang sangat dikhawatirkan
adalah terjadinya eksploitasi manusia atas manusia (QS 25:20). Pada tataran ini
nilai keadilan akan digantikan dengan kerakusan.
Nubuwwah
(Kenabian)
Manusia
bisa mengetahui bagaimana dia bertauhid dan selanjutnya bisa berbuat adil,
tidak bisa dipisahkan dari peran para nabi dan rasul. Karena merekalah,
pertunjuk Allah untuk bisa memaknai hidup agar selamat di dunia dan akhirat
sampai kepada manusia. Mereka juga sekaligus menjadi prototype dan teladan bagi
manusia di masanya. Bagi umat Islam, model yang sempurna yang telah dikirimkan
Allah adalah Nabi Muhammad. Sebagai teladan, Nabi sepanjang hayatnya telah
memperlihatkan empat sikap konsisten yang menjadi modal dasar dalam bernegara,
berbisnis, berda'wah dan bermasyarakat yaitu sifat shiddiq, amanah, fathonah
dan tabligh.
Siddiq
berarti benar atau jujur dalam segala tindakan. Inilah visi setiap muslim.
Kehidupan di dunia harus dijalani secara benar, supaya hidup kita diridhai oleh
Allah. Dari konsep ini, dalam ekonomi bisa diturunkan prinsip efektivitas (mencapai
tujuan yang tepat)
dan efisiensi (melakukan
kegiatan yang benar). Efektivitas bisa dicapai bila kegiatan ekonomi
tersebut dilakukan dengan
menggunakan teknik dan
metode yang tidak
menyebabkan kemubaziran.
Bila visi setiap
muslim adalah kebenaran,
maka perwujudan dalam keseharian adalah
bentuk sikap amanah. Bersikap amanah menjadi misi bagi setiap
muslim. Amanah dalam
bentuk sederhananya adalah
tanggung jawab, kepercayaan dan
kredibilitas. Muslim yang
amanah akan selalu berusaha agar semua tindakannya dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, kredibilitasnya di mata para kolega
bisnis pun akan tinggi. Tanpa kredibilitas, bisnis yang sedang dirancang atau
sudah dijalani akan hancur. Visi dan
misi saja belum
cukup. Untuk melengkapinya, seorang
muslim harus cerdas dan
bijaksana. Inilah perwujudan dari sifat fathonah. Dengan kecerdikan dan wawasan
yang mendalam, seorang muslim akan memiliki strategi dalam hidup. Implikasi
ekonomi dari sifat fathonah adalah bahwa segala aktivitas ekonomi harus
dilakukan berdasarkan ilmu,
kecerdikan dan menggunakan semua potensi akal untuk meraih
tujuan. Pendeknya dalam berbisnis, muslim dituntut untuk bersikap selalu
bekerja keras dan cerdas. Untuk menunjang tiga sifat dasar yang telah
disebutkan di atas, dalam hidup muslim harus bisa melakukan kegiatan pemasaran.
Dalam 'memasarkan' ajaran agama, Rasulullah dibekali dengan sifat tabligh.
Sifat itu bisa meliputi keahlian komunikasi, keterbukaan dan pemasaran. Bila
sifat tabligh sudah mendarah daging, setiap muslim mestinya bisa menjadi
pemasar-pemasar tangguh.
Khilafah
(Pemerintahan)
Manusia diciptakan untuk menjadi
kholifah (pemimpin yang memerintah) di muka bumi.
Artinya manusia mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan
pemakmur bumi. ―Setiap
dari kalian adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggungjawabannya‖, demikian sebuah petikan sabda Nabi.
Dengan demikian, manusia adalah seorang pemimpin, baik sebagai kepala negara,
pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga atau sebagai individu. Ini mendasari
sikap hidup kolektif dalam Islam. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan
interaksi antar kelompok agar terhindar dari kekacauan dan keributan. Dalam
Islam, pemerintah memerankan bagian yang tidak kecil. Pemerintah bertugas
menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan
syariah dan untuk
memastikan agar tidak
ada pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak manusia. Semua itu bertujuan
untuk mencapai maqashid syar'i
(tujuan-tujuan syariah) yaitu untuk memajukan kesejahteraan manusia.
Kesejahteraaan itu hanya bisa dicapai bila ada perlindungan terhadap
keimanan, jiwa, akal,
kehormatan dan kekayaan manusia.
Ma’ad
(Hasil)
Prinsip
dasar ekonomi Islam yang terakhir adalah ma'ad (hasil). Secara harfiah ma'ad
berarti kembali. Hidup manusia akan berakhir dan kemudian ia akan kembali
kepada Allah. Hal tersebut mengajarkan bahwa hidup tidak hanya di dunia, tapi
terus berlanjut hingga alam akhirat. Itulah sebabnya dalam Islam dunia
dipandang tak lebih dari
sekedar ladang bagi akhirat.
Dunia sekedar wahana untuk menyebarkan benihbenih kebajikan yang
hasilnya akan dituai di akhirat kelak.
Karena itu Allah melarang manusia untuk terikat pada dunia. Allah
menegaskan bahwa kesenangan di dunia tidaklah seberapa bila dibanding dengan
kenikmatan akhirat (QS 87:17).
Allah
memerintahkan manusia untuk berjuang untuk mnedapatkan ganjaran baik di dunia
maupun di akhirat. Perbuatan baik mereka akan dibalas dengan kebaikan
yang berlipat. Dari
sini konsep ma'ad
diartikan sebagai imbalan
atau ganjaran. Menurut
Imam Ghazali motivasi para
pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan
laba, baik berupa ganjaran di dunia dan akhirat. Itulah mengapa konsep Islam
memberikan legitimasi untuk mendapatkan profit.
Dari
kelima nilai di atas, jelaslah semua elemen yang menjadi sumber inspirasi bagi
penyusunan teori-teori dan proposisi ekonomi Islam. Dari nilai- nilai itu, bisa
diturunkan lagi dalam bentuk prinsip derivatif yang menjadi ciri khas sistem
ekonomi Islam. Prinsip derivatif tersebut adalah kepemilikan multi jenis (multitype
ownership), kebebasan berusaha (freedom to act), dan keadilan sosial (social
justice). Nilai tauhid dan adil akan melahirkan konsep multitype ownership.
Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah
kepemilikan swasta. Sebaliknya, dalam sistem sosialis, negaralah yang
mengklaim kepemilikan itu.
Islam berada di
tengahtengahnya dengan
mengakui bermacam-macam bentuk
kepemilikan baik untuk
swasta, negara atau campuran.
Dengan prinsip ini, ditegaskan pemilik utama bumi seisinya berikut langit yang
memayungi hanya Allah semata. Manusia sekedar diberi hak untuk mengelola atau
sebagai pemilik sekunder. Dengan demikian kepemilikan swasa
diakui. Namun untuk
menjamin agar tidak
terjadi eksploitasi satu dengan yang lain, maka cabang-cabang produksi
yang penting dan menguasai hajat
hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
Ini adalah bentuk pengakuan
terhadap kepemilikan negara. Sistem kepemilikan campuran, baik campuran
swasta-negara maupun swasta-domestik-asing, juga mendapat tempat dalam Islam.
Nilai
nubuwwah di muka telah dijelaskan akan menjadikan pribadi-pribadi yang
profesional dan prestatif dalam segala hal, termasuk dalam bisnis. Pelaku
bisnis akan tergerak
untuk menjadikan Nabi
sebagai model dalam menjalankan
bisnis, khususnya dalam meniru sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.
Keempat nilai ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (good
governance) akan melahirkan prinsip kebebasan bertindak (freedom to act) bagi
setiap muslim. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar bagi
perekonomian yang sehat. Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi
Islam, asalkan tidak terjadi praktik distorsi (proses penzdaliman). Karena
potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus
dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan
nilai- nilai keadilan dilakukan
dengan melarang semua
kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan)
seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan
maysir (perjudian) atau mendapatkan
keuntungan dari kerugian
orang lain. Negara
memiliki tugas untuk
menyingkirkan segala distorsi ini. Dengan demikian negara bertindak untuk
mengurangi market distortion. Peran negara adalah mengawasi interaksi
(muamalah) para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar
syariah. Gabungan dari nilai khilafah dan ma'ad akan melahirkan prinsip
keadilan sosial (social justice). Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab
menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin.
Akhlak
Setelah
memiliki landasan teori yang kuat dan sistem ekonomi yang mantap, maka
diperlukan panduan untuk
para pelaku ekonomi.
Dalam bertindak harus sesuai dengan teori dan sistem yang telah digali
dari sumber- sumber Islam. Norma yang bisa menuntut untuk melakukan itu adalah
akhlaq.Dengan kata lain, para pelaku ekonomi harus berperilaku dan berakhlaq
secara profesional (ihsan) dalam bidang ekonomi. Baik posisinya sebagai
produsen, konsumen, pengusaha, karyawan, atau sebagai pejabat pemerintah. Teori
sebaik apapun tidak akan memberikan hasil yang diharapkan apabila pelakunya tidakberakhlaq. Sistem
ekonomi Islam hanya
memastikan bahwa tidak ada transaksi
ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Namun yang penting, kinerja bisnis
tergantung kepada para pelakunya. Akhlaq menjadi kriteria pertama apakah para
pebisnis melakukan usahanya dengan benar karena telah ditegaskan oleh
Rasulullah bahwa "Sesungguhnya aku di utus unutk mnyempurnakan akhlaq.
Sumber : Buku Wajib Fungsionaris KSEI FE Unnes 2016
Komentar