Meskipun
istilah riba disebut di dalam Al-Qur’an, namun istilah tersebut tidak terdapat
penjelasan secara detail dalam praktik Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan atas
dua alasan. Pertama, bahwa ayat yang
berkaitan dengan riba diturunkan pada akhir kehidupan Rasulullah SAW sehingga
tidak banyak contoh kasus orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
istilah tersebut. Kedua, riba
merupakan istilah yang telah mapan dan terkenal pada saat pewahyuannya dan karena
itu Rasulullah tidak merasa adanya kebutuhan akan penjelasan atau elaborasi
lebih lanjut.
Secara
literal, riba merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti kelebihan,
tambahan. Kata kerja yang berkaitan dengan kata ini berarti; meningkatkan,
melipatgandakan, melebihkan, mengambil lebih dari yang seharusnya, atau
melakukan praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga tinggi. Menurut Lane,
istilah riba bermakna:
“meningkatkan,
memperbesar, menambah, tambahan terlarang, menghasilkan lebih dari asalnya,
mempraktikkan peminjaman dengan bunga atau yang sejenis, kelebihan atau
tambahan, di atas jumlah pokok yang dipinjamkan atau dikeluarkan.”
Dalam
pandangan para pakar muslim uang merupakan alat tukar, standar nilai dan unit
perhitungan (unit of account) bukans
sebagai penyimpan nilai (store of value)
. meminjamkan uang dengan bunga dilarang karena tindakan tersebut sebagai
sesuatu yang tidak layak, karena uang tidak dicari demi uang itu sendiri,
tetapi untuk mendapatkan barang lain. berbagai ayat Al-Qur’an menekankan
mencari nafkah adalah melalui perdagangan bukan melalui riba. Ketika sebagian
mempertanyakan perbedaan antara berdagang dengan riba, mereka berpendapat bahwa
dua hal itu sama. Allah SWT berfirman, “…dan
Allah mengalalkan perdagangan dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275). Ayat
ini turun untuk menegaskan bahwa dua hal tersebut berbeda, yang satu
diperbolehkan sedangkan yang lain dilarang.
Lalu,
bagaimana riba dalam perspektif kalangan non-Muslim?
Berbagai kalangan di luar Islam
memandang riba sebagai persoalan serius. Dengan demikian, riba bukan hanya
merupakan persoalan umat Islam. masalah riba telah menjadi bahan kajian di
kalangan Yahudi, Yunani, demikian Romawi. Sementara kalangan Kristen memiliki
pandangan tersendiri dalam masa tentang riba.
Paling tidak, terdapat tiga alasan
perlu mengkaji pandangan kalangan non-muslim tentang riba. Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati nabi Ibrahim, Ishak,
Musa dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani.
Islam juga mengakui kedua kaum tersebut sebagai ahli kitab karena kaum Yahudi
dikaruniai Allah SWT kitab Taurat, sedangkan kaum Nasrani kitab Injil. Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Nasrani
perlu dikaji dengan alasan karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang
dibuat para pemuka agama tersebut. Ketiga,
pendapat orang-orang Yunani dan Romawi perlu diperhatikan dengan alasan
akrena mereka memberikan kontribusi yang besar dari peradaban manusia. Pendapat
mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Nasrani serta
orang-orang Islam dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan bunga.
1. Pandangan Kaum Yahudi tentang
Bunga
Orang-orang Yahudi dilarang
mempraktikkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab
suci mereka, baik dalam Perjanjian Lama (Old
Testament) maupun Undang-undang (Talmud).
Kitab
Keluaran (Exodus) pasal 22 ayat 25
menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada
salah seorang umatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlan engkau
berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga
terhadapnya.”
Kitab
Ulangan (Deuteromy) pasal 23 ayat 19
menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada
saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa saja yang dapat dibungakan.”
Kitab
Imamat (Levicitus)pasal 35 ayat 7
menyatakan:
“Jangalah engkau mengambil bunga
uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut kepada Allahmu, supaya
saudaramu hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang kepadanya dengan
meminta bunga, juga makananmu jangalah engkau berikan dengan meminta riba.”
2. Pandangan Yunani dan Romawi tentang
Bunga
Pada masa Yunani, sekitar abad VI SM hingga I M,
telah terdapat beragam jenis bunga. Besarnya bunga bervariasi tergantung
keinginannya. Secara umum nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman
biasa
Pinjaman
property
Pinjaman
antar kota
Pinjaman
perdagangan dan industri
|
6-18
%
6-12
%
7-12
%
12-18
%
|
Pada masa Romawi, sekitar abad V SM hingga abad
IV M, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga
selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan
hukum (maximal legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah seiring
perkembangan waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga,
tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan
pengambilan Bunga tidak diperbolehkan. Tetapi pada masa Unciaria (88 SM)
praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis
suku bunga pada zaman Romawi,yaitu:
Bunga
maksimal yang diperbolehkan
Bunga
pinjaman biasa di Roma
Bunga
untuk wilayah (daerah taklukan Roma)
Bunga
khusus Byzantium
|
8-12
%
4-12
%
6-100
%
4-12
%
|
Meskipun demikian, praktik pengenaan bunga
dicela oleh para ahli filsafat Yunani yang terkemuka, yaitu Plato (347 – 327 SM)
dan Aristoteles (322 – 384 SM) mengancam praktik bunga. Demikian pula Cato (149
– 234 SM) dan Cicero (43 – 106 SM). Para ahli filsafat tersebut mengecam
orang-orang Romawi yang mempraktikkan pengambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga
berdasarkan dua alasan, yaitu Pertama, bunga
menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan
kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristoteles dalam
menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat
tukar (medium of change) .
ditegaskannya, bahwa uang bukan sebagai alat untuk menghasilkan tambahan
melalui bunga. Ia menyebut bahwa bunga sebagai “uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum
tentu pasti terjadi.” Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap
merupakan sesuatu yang tidak adil.
Penolakan para ahli filsafat Romawi
terhadap praktik pengambilan Bungan memiliki alasan yang kurang ebih sama
dengan yang dikemukakan oleh ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat
kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yaitu memungut cukai dan memberikan
pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan
antara perniagaan dan memberi pinjaman, yaitu: (1) Perniagaan adalah suatu
pekerjaan yang memiliki risiko, sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah
sesuatu yang tidak pantas, dan (2) dalam tradisi mereka terdapat suatu
perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat,
sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Singkat kata, para ahli filsafat
Romawi dan Yunani menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan
tersebut juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga
merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat dan merupakan akar
kelahiran pandangan tersebut.
3. Pandangan Kristen tentang Bunga
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan
permasalahan bunga secara jelas. Namun demikian, sebagian besar kalangan
Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 3:5 – 34 sebagai ayat
yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan:
“…dan jika kamu meminjamkan
sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya,
apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa., supaya
mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuat
baiklah kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi. Sebab
Ia baik terhadap orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang
yang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut
mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka kaum
Nasrani tentang boleh atau tidaknya mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan
di kalangan pemuka Nasrani dapat dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu:
a. Pandangan para pendeta awal
Nasrani abad I – XII
Pada masa ini,
umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga
pada kitab Perjanjuan Lama yang juga diimani oleh orang Nasrani.
Dari beberapa
pendapat pendeta pada masa ini, dapat disimpulkan pandangan mereka sebagai
berikut:
·
Bunga adalah semua bentuk yang
diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan
·
Mengambil bunga adalah sesuatu yang
dosa, dilarang baik dalam Perjanjuan lama maupun Perjanjian Baru
·
Niat untuk mendapatkan imbalan
melebihi apa yang dipinjamkan adalah dosa
·
Bunga harus dikembalikan kepada
pemiliknya
·
Harga barang yang ditinggikan untuk
penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung
b. Pandangan para sarjana Nasrani
abad XII – XVI
Pada masa ini,
terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Pada
masa ini, uang dan kredit menjadi unsur penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk
memberikan modal kerja kepada para pedangan mulai dikenalkan pada awal abad
XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk sehingga proses tersebut
mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Kesimpulan dari
hasil kajian tentang bunga dari para sarjana Nasrani pada periode ini sebagai
berikut:
·
Pandangan Calvin tentang bunga
adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan
·
Mengambil bunga dari pinjaman
diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi
hutang.
c. Pandangan para Reformis Nasrani
abad XVI – Tahun 1836
Pendapat para
reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru tentang bunga. Para reformis
ini antara lain adalah John Calvin, Charles du Moulin, Claude Saumaise, Martin
Luther, Melanchthon, dan Zwingli.
Beberapa pandangan
Calvin tentang bunga adalah sebagai berikut: (1) Dosa jika bunga memberatkan, (2)
Uang dapat membiak, (3) Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi, (4)
Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Dou Moulin mendesak agar
pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan
untuk kepentingan produktif. Saumise, pengikut Calvin membenarkan semua
pengambilan bunga meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual
uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk
melarang orang yang akan membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu
repot-repot mencampuri urusan
berhubungan dengan bunga.
Nah,
demikian pandangan Riba dan Bunga di dalam perspektif non-Muslim. Terdapat
pendapat yang melarang, membolehkan dengan syarat, bahkan mempersilahkan (tidak
menyangkut pautkan pengambilan bunga dengan ajaran agama). Semoga tulisan ini
bermanfaat.
Referensi:
Mubarak, E. Saefuddin.
2014. Ekonomi Islam (Pengertian, Prinsip dan Fakta). Bogor: Penerbit in Media.
Komentar