Langsung ke konten utama

HARTA DALAM EKONOMI ISLAM

HARTA DALAM EKONOMI ISLAM
Pengertian Harta
Secara umum harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomis, baik yang berupa benda ataupun jasa. Dengan kata lain harta adalah sesuatu yang dapat dikumpulkan, dimanfaatkan, dan dimiliki oleh manusia. Sedangkan menurut islam, harta adalah "Sesuatu yang dapat dikuasai atau dimiliki dan dan dapat dimanfaatkan sesuai syariah dalam kondisi normal." Adapun yang dimaksud dengan kondisi normal adalah yang bukan darurat, karena dalam keadaan darurat makanan   dan   minuman   yang   asal   mulanya   haram   dikonsumsi,   dapat diperbolehkan untuk dikonsumsi sebatas untuk menyelamatakan kondisi darurat.
Pembagian Harta
Sesuai dengan pokok pembahasan menyangkut sistem pambagian harta, dalam Islam sistem pembagian harta dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, menjelaskan harta dilihat dari segi wujud atau bentuknya harta. Bentuk   harta terbagi menjadi dua, yaitu berupa ‗ain (benda atau barang) dan manaafi = (manfaat). Kedua, berdasarkan boleh tidaknya untuk memanfaatkan harta dibagi menjadi mutaqawwim dan ghairul mutaqawwim. Sedangkan yang ketiga, harta dilihat dari sisi ada atau tidaknya persamaan dari harta tersebut di pasaran, terbagi menjadi mitsli dan qiimi.
‘Ain dan Manaafi’
Harta secara umum tidak hanya bersifat materi. Sebab menurut jumhur ulama, manfaat juga merupakan harta. Contohnya, apabila ada seseorang menempati  rumah  orang  lain  tanpa  seizin  pemiliknya,  orang  tersebut  dapat dituntut  ganti  rugi,  karena  manfaat  rumah  tersebut  mempunyai  nilai  harta. Menurut jumhur ulama tersebut, manfaat merupakan unsur terpenting dalam harta. Karena harta diukur dengan kualitas manfaat dari benda itu sendiri. Kaitannya dengan ‘ain dan manaafi’, harta ‘ain atau materi ialah harta yang secara sifat benar-benar berwujud, bisa disentuh, dipegang, diraba, dilihat, dan sebagainya. menyangkut hal ini, Musthafa Ahmad alZarqa‗ menyatakan ―setiap materi (‘ain) yang mempunyai nilai yang beredar di kalangan manusia‖. Contohnya: rumah, lemari, komputer, HP, sepeda motor, dan lainlain.
Harta berwujud (‘ain) jika diklasifikasikan menurut wujud yang menyertainya, dapat dibagi menjadi: ‘iqaar (barang bergerak), manquul (barang tidak bergerak), ‘uruudl (barang dagang), dan atsmaan (emas dan perak).
‘Iqaar (barang tidak bergerak) Iqar yaitu harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan.
Manquul (barang bergerak) Manqul  adalah  harta  yang memungkinkan  untuk  dipindah,  dari satu tempat ke tempat yang lainnya, baik bentuk fisiknya berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan tersebut. Contoh harta manqul adalah uang, harta perdagangan, hewan, ataupun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Pembedaan harta seperti tertera di poin A dan B di atas, dapat mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum, antara lain:
Adanya  hak  syuf’ah,  (hak  istimewa  yang  dimiliki  seseorang terhadap rumah tetangganya yang akan dijual, agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan kepadanya).
Harta  yang  boleh  diwakafkan.  Menurut  ulama  mazhab  Hanafi, harta  yang  boleh  diwakafkan  hanya  benda  tidak  bergerak  atau benda bergerak yang sulit dipisahkan dari benda tidak bergerak. Akan tetapi, jumhur ulama berpendirian bahwa kedua jenis harta ini bisa diwakafkan.
Seorang wasi (orang yang diberi wasiat) yang berkewajiban memelihara harta anak kecil (belum cakap bertindak hukum) tidak dibenarkan  menjual  harta  tidak  bergerak  milik  anak  tersebut, kecuali dalam hal-hal yang sangat mendesak.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf, gasab tidak mungkin dilakukan pada harta tidak bergerak, karena harta tersebut tidak dapat dipindahkan. Salah satu syarat  gasab adalah barang yang digasab tersebut dikuasai dan dipindahkan oleh orang yang menggasabnya. Disamping itu, menurut mereka jika sekedar memanfaatkan  benda  tidak  bergerak  tidak  dinamakan   gasab, karena manfaat tidak termasuk harta. Akan tetapi jumhur ulama dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berpendirian bahwa gasab bisa terjadi pada benda bergerak dan benda tidak bergerak, karena bagi mereka manfaat tidak termasuk harta.
Uruudl (barang dagang)
Barang dagang dalam Islam termasuk kategori harta. Sebab sesuatu yang diperdagangkan tersebut merupakan hal yang sangat berharga bagi pemiliknya. Barang-barang itu menjadi sumber penghasilan dalam hidupnya. Rasulullah SAW pernah menggantungkan hidupnya dari perdagangan. Dan yang diperdagangkan adalah barang dagang.
Hasil yang ditimbulkan dari pemanfaatan barang dagang dapat dibagi menjadi dua, yaitu Qinyah dan Tijaarah.
Qinyah Esensi dari qinyah adalah tidak diprofitkan, atau dengan kata lain harta barang dagang yang dimanfaatkan untuk kepentingan konsumtif. Jadi dari harta tersebut tidak akan dilakukan penjualan untuk pencarian laba. Qinyah dalam pemanfaatannya terbagi menjadi dua macam:
  1) Habis jika dipakai (al-istihlaki) Contoh : makanan, minuman, dan lain-lain.
2) Tidak habis jika dipakai (al-isti‗mali) Contoh : kendaraan, pakaian, tempat tidur, dan lain-lain.
Tijaarah Tijaarah, merupakan harta barang dagang yang diprofitkan. Artinya jika dilihat dari segi pemiliknya, harta barang dagang ini akan dugunakan untuk kepentingan mencari keuntungan. Sesuai dengan pemanfaatan harta barang dagang tijaarah tersebut, dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Habis jika dipakai (al-istihlaki) Contoh : warung makan, katering, pulsa, bahan bakar, dan lain- lain.
2) Tidak habis jika dipakai (al-isti’mali) Contoh : rumah kontrakan, kost-kostan, komputer, handphone, dan lain-lain.
D. Atsmaan (perhiasan)
Seperti yang sering dijumpai, perhiasan juga termasuk harta berbentuk (‘ain). Bahkan untuk mendapatkannya, seseorang harus berupaya sekeras-kerasnya. Sebab perhiasan jika dilihat dari segi nilai, dapat dikatakan bahwa nilai dari perhiasan sangat tinggi dan nilainya juga stabil di pasaran. Contoh harta ini adalah seperti : emas, perak, mutiara, berlian, intan, dan lain-lain.
Mutaqawwim dan Ghairul Mutaqawwim
Harta mutaqawwim ialah harta yang halal (menurut syarak) untuk diambil manfaatnya. Sedangkan ghairul mutaqawwim adalah harta yang tidak halal dimanfaatkan.  Perbedaan  pembagian  harta  mutaqawwim  dan      ghairul mutaqawwim akan terlihat jelas dalam hal keabsahan pemanfaatan harta tersebut menurut syarak. Bangkai, babi dan khamr dalam Islam bukanlah harta yang halal dimanfaatkan. Oleh sebab itu, tidak sah dilakukan akad terhadap benda-benda tersebut. Dari segi ganti rugi, jika melenyapkan dengan sengaja harta Ghairul Mutaqawwim  yang dimiliki oleh seorang muslim, tidak dikenakan ganti rugi, karena harta tersebut tidak halal bagi umat Islam. Berbeda halnya dengan khamr dan babi milik kafir dzimmi, menurut ulama mazhab Hanafi, jika dilenyapkan oleh seorang muslim, wajib dibayar ganti rugi, sebab menurut kafir   dzimmi, kedua bentuk harta tersebut termasuk mutaqawwim.
Mitsli dan Qiimi
Mitsli Al-maal 
al-mitsli  adalah  harta  yang terdapat  padanannya di  pasaran, tanpa adanya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kasatuannya. Ada yang berbentuk barang takaran, barang timbangan,barang bilangan, yang masingmasing tidak memiliki perbedaan nilai. Contohnya seperti sembako, kain, dan lain sebagainya. Harta mitsli dapat dikategorikan menjadi empat bagian:
1. Al-makiilat  (sesuatu  yang  dapat  ditakar)  seperti;  gandum,  terigu, beras.
2. Al-mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti kapas, besi, tembaga.
3. Al-‘adadiyaat (sesuatu yang dapat dihitung dan memiliki kemiripan bentuk fisik) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil- hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya.
4. Adz-dzira’iyaat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagianbagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikategorikan sebagai harta qimi, seperti tanah.
B. Qiimi Al-maal
al-qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda. Al- maal al-qimi juga biasa disebut barang bernilai tinggi. Seperti domba, tanah, kayu, dan lain-lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan tetapi setiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka yang memiliki kualitas dan bentuk fisik yang berbeda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH Pendekatan Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer Pendekatan   ini   biasa   disingkat   dengan   pendekatan      induktif,      yang dipelopori   oleh   AAOIFI   (Accounting   and   Auditing   Organization   for   Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan dengan intitusi yang   memerlukannya.   Selain   itu,   pendekatan   ini   sesuai   dengan   prinsip   ibaha (boleh)   yang   menyatakan   bahwa   segala   sesuatu   yang   terkait   dalam   bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya. Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat   yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI Sejak abad VIII, Bangsa Arab berlayar sepanjang pantai Arabi dan India, singgah di Italia dan menjual barang dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Buku Pacioli di dasarkan pada tulisan Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Algebra (pada saat itu ditulis dalam bahasa Arab), yang berisikan dasar-dasar mengenai bookkeeping. Bookkeeping sebenarnya telah dipraktekkan pertama kali oleh para pedagang dan berasal dari Mesir.   Pada   akhir   abad   XV,   Eropa   mengalami   standstill   dan   tidak   dapat ditemukan adanya kemajuan yang berarti dalam metode akuntansi.              Istilah    Zornal    (sekarang   journal)    telah    lebih    dahulu    digunakan    oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Double entry   yang   ditulis   oleh   Pacioli,   telah   lama   dipraktekkan   dalam   pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi d

Riba dalam Perspektif non-Muslim

                 Meskipun istilah riba disebut di dalam Al-Qur’an, namun istilah tersebut tidak terdapat penjelasan secara detail dalam praktik Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, bahwa ayat yang berkaitan dengan riba diturunkan pada akhir kehidupan Rasulullah SAW sehingga tidak banyak contoh kasus orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang istilah tersebut. Kedua, riba merupakan istilah yang telah mapan dan terkenal pada saat pewahyuannya dan karena itu Rasulullah tidak merasa adanya kebutuhan akan penjelasan atau elaborasi lebih lanjut. Secara literal, riba merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti kelebihan, tambahan. Kata kerja yang berkaitan dengan kata ini berarti; meningkatkan, melipatgandakan, melebihkan, mengambil lebih dari yang seharusnya, atau melakukan praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga tinggi. Menurut Lane, istilah riba bermakna:             “meningkatkan, memperbesar, menambah, tambahan terlarang, menghasil