Langsung ke konten utama

SISTEM EKONOMI DAN FISKAL PADA MASA PEMERINTAHAN RASULULLAH SAW (2)

C. Keuangan dan Pajak

1. Sumber-sumber Pendapatan Negara

Dari Kaum Muslimin
Dari Kaum Non-Muslim
Umum (Primer dan Sekunder)
1. Zakat
1. Jizyah
1. Ghanimah
2. Ushr (5-10%)
2. Kharaj
2. Fai
3. Ushr (2,5%)
3. Ushr (5%)
3. Uang tebusan
4. Zakat Fitrah

4. Pinjaman dari kaum Muslimin atau non-Muslim
5. Wakaf, yaitu harta benda yang didesikasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatannya akan disimpan di Baitul Mal.
5. Hadiah dari pemimpin atau pemerintah negara lain
6. Amwal Fadilah, yakni harta yang berasal dari harta benda kaum Muslimin yang meninggal tanpa ahli waris.

7. Nawaib, yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum Muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat.
8. Sedekah lain, misal sedekah hewan qurban dan kafarat
9. Khums atas rikaz atau harta karun

ü  Pada masa pemerintahannya, Rasulullah menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Pembayaran jizyah ini tidak harus berupa uang tunai, tetapi juga dapat berupa berbagai barang lainnya.

ü  Rasulullah juga menerapkan sistem kharaj, yakni pajak tanah yang dipungut dari kaum non-Muslim. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yakni setengah dari hasil produksi setelah dikurangi sepertiga dari seluruh jumlah hasil produksi sebagai kompensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran hasil produksi.

ü  Rasulullah menerapkan ushr sebagai bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali dalam setahun serta hanya berlaku terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non-Muslim yang dilindungi adalah sebesar 5% sedangkan pedagang Muslim sebesar 2,5%.

2. Sumber-sumber Pengeluaran Negara

Primer
Sekunder
Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan.
Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah
Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Quran, termasuk para pemungut zakat.
Hiburan untuk para delegasi keagamaan
Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negara lainnya.
Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka
Pembayaran upah para sukarelawan
Hadiah untuk pemerintah negara lain
Pembayaran utang negara
Pembayaran untuk pembebasan kaum Muslim yang menjadi budak
Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak)
Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum Muslimin

Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin
Pembayaran tunjangan untuk orang miskin
Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
Pengeluaran rumah tangga Rasulullah Saw. (hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya)
Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan Khaibar)

D. Baitul Mal

Sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.

Dalam negara Islam, tampuk kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dengan perintah Al-Quran. Hal ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. Ia tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara, tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.

Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Tempat pengumpulan itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta) atau bendahara negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak di Masjid Nabawi.

Sumber : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH Pendekatan Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer Pendekatan   ini   biasa   disingkat   dengan   pendekatan      induktif,      yang dipelopori   oleh   AAOIFI   (Accounting   and   Auditing   Organization   for   Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan dengan intitusi yang   memerlukannya.   Selain   itu,   pendekatan   ini   sesuai   dengan   prinsip   ibaha (boleh)   yang   menyatakan   bahwa   segala   sesuatu   yang   terkait   dalam   bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya. Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat   yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI Sejak abad VIII, Bangsa Arab berlayar sepanjang pantai Arabi dan India, singgah di Italia dan menjual barang dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Buku Pacioli di dasarkan pada tulisan Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Algebra (pada saat itu ditulis dalam bahasa Arab), yang berisikan dasar-dasar mengenai bookkeeping. Bookkeeping sebenarnya telah dipraktekkan pertama kali oleh para pedagang dan berasal dari Mesir.   Pada   akhir   abad   XV,   Eropa   mengalami   standstill   dan   tidak   dapat ditemukan adanya kemajuan yang berarti dalam metode akuntansi.              Istilah    Zornal    (sekarang   journal)    telah    lebih    dahulu    digunakan    oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Double entry   yang   ditulis   oleh   Pacioli,   telah   lama   dipraktekkan   dalam   pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi d

Riba dalam Perspektif non-Muslim

                 Meskipun istilah riba disebut di dalam Al-Qur’an, namun istilah tersebut tidak terdapat penjelasan secara detail dalam praktik Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, bahwa ayat yang berkaitan dengan riba diturunkan pada akhir kehidupan Rasulullah SAW sehingga tidak banyak contoh kasus orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang istilah tersebut. Kedua, riba merupakan istilah yang telah mapan dan terkenal pada saat pewahyuannya dan karena itu Rasulullah tidak merasa adanya kebutuhan akan penjelasan atau elaborasi lebih lanjut. Secara literal, riba merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti kelebihan, tambahan. Kata kerja yang berkaitan dengan kata ini berarti; meningkatkan, melipatgandakan, melebihkan, mengambil lebih dari yang seharusnya, atau melakukan praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga tinggi. Menurut Lane, istilah riba bermakna:             “meningkatkan, memperbesar, menambah, tambahan terlarang, menghasil