C. Keuangan dan Pajak
1. Sumber-sumber Pendapatan Negara
Dari Kaum Muslimin
|
Dari Kaum Non-Muslim
|
Umum (Primer dan Sekunder)
|
1. Zakat
|
1. Jizyah
|
1. Ghanimah
|
2. Ushr (5-10%)
|
2. Kharaj
|
2. Fai
|
3. Ushr (2,5%)
|
3. Ushr (5%)
|
3. Uang tebusan
|
4. Zakat Fitrah
|
|
4. Pinjaman dari kaum
Muslimin atau non-Muslim
|
5. Wakaf, yaitu
harta benda yang didesikasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan agama
Allah dan pendapatannya akan disimpan di Baitul Mal.
|
5. Hadiah dari pemimpin
atau pemerintah negara lain
|
|
6. Amwal Fadilah,
yakni harta yang berasal dari harta benda kaum Muslimin yang meninggal tanpa
ahli waris.
|
|
|
7. Nawaib, yaitu
pajak khusus yang dibebankan kepada kaum Muslimin yang kaya raya dalam rangka
menutupi pengeluaran negara selama masa darurat.
|
||
8. Sedekah lain,
misal sedekah hewan qurban dan kafarat
|
||
9. Khums atas
rikaz atau harta karun
|
ü Pada masa pemerintahannya, Rasulullah
menerapkan jizyah, yakni pajak yang
dibebankan kepada orang-orang non-Muslim khususnya ahli kitab, sebagai jaminan
perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta
pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun
untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Pembayaran jizyah
ini tidak harus berupa uang tunai, tetapi juga dapat berupa berbagai barang
lainnya.
ü Rasulullah juga menerapkan sistem kharaj, yakni pajak tanah yang dipungut
dari kaum non-Muslim. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yakni setengah dari
hasil produksi setelah dikurangi sepertiga dari seluruh jumlah hasil produksi
sebagai kompensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran hasil produksi.
ü Rasulullah menerapkan ushr sebagai bea impor yang dikenakan
kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali dalam setahun serta hanya
berlaku terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 200 dirham. Tingkat bea
yang dikenakan kepada para pedagang non-Muslim yang dilindungi adalah sebesar
5% sedangkan pedagang Muslim sebesar 2,5%.
2. Sumber-sumber Pengeluaran Negara
Primer
|
Sekunder
|
Biaya pertahanan
seperti persenjataan, unta, dan persediaan.
|
Bantuan untuk
orang yang belajar agama di Madinah
|
Penyaluran zakat
dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Quran, termasuk
para pemungut zakat.
|
Hiburan untuk para
delegasi keagamaan
|
Pembayaran gaji
untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negara lainnya.
|
Hiburan untuk para
utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka
|
Pembayaran upah
para sukarelawan
|
Hadiah untuk
pemerintah negara lain
|
Pembayaran utang
negara
|
Pembayaran untuk
pembebasan kaum Muslim yang menjadi budak
|
Bantuan untuk
musafir (dari daerah Fadak)
|
Pembayaran denda atas
mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum Muslimin
|
|
Pembayaran utang
orang yang meninggal dalam keadaan miskin
|
Pembayaran
tunjangan untuk orang miskin
|
|
Tunjangan untuk
sanak saudara Rasulullah
|
|
Pengeluaran rumah
tangga Rasulullah Saw. (hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir
gandum untuk setiap istrinya)
|
|
Persediaan darurat
(sebagian dari pendapatan Khaibar)
|
D. Baitul Mal
Sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia,
pemerintahan suatu negara dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan
perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta
kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini
berarti, sebelum Islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan
perbendaharaan negara di dunia.
Dalam negara Islam, tampuk kekuasaan dipandang sebagai sebuah
amanah yang harus dilaksanakan dengan perintah Al-Quran. Hal ini telah
dipraktikkan oleh Rasulullah Saw sebagai seorang kepala negara secara baik dan
benar. Ia tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari
suatu negara, tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan
negara.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah merupakan kepala negara
pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad
ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu
dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Tempat pengumpulan
itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta) atau bendahara negara. Pada masa
pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak di Masjid Nabawi.
Sumber :
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A.,
M.A.E.P.)
Komentar