Langsung ke konten utama

KEBIJAKAN PENGELUARAN NEGARA SEPANJANG SEJARAH DALAM ISLAM


KEBIJAKAN PENGELUARAN NEGARA SEPANJANG SEJARAH DALAM ISLAM

Menurut Ibnu Taimiyah, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran   adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintahan atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Saat membelanjakan uang masyarakat, maka harus diprioritaskan kepada hal-hal yang penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain:
1.      Kaum miskin dan yang membutuhkan.
2.      Pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan.
3.      Pemeliharaan ketertiban dan hukum internal.
4.      Pensiun dan gaji pegawai.
5.      Pendidikan.
6.      Infrastruktur.
7.      Kesejahteraan umum.
            Dalam pengalokasian sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta- merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut di atas. Ada pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk penerimaan dari zakat dan ganimah peruntukannya sudah ditentukan secara jelas dalam Al-Qur‗an, sedangkan fai pemanfaatannya lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran publik lainnya.
            Menurut Sakti, dalam Islam, semua jenis pendapatan dimasukan ke dalam bait al-ma‟l, lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran untuk umum. Adapun anggaran untuk umum berasal dari pendapatan lainnya, seperti pajak dan non-pajak. Didapatkan bahwa Islam lebih terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama Islam pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah daripada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan.

Kebijakan pengeluaran zaman non-zakat Rasulullah
            Dari sisi pengeluaran negara, catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah memang tidak tersedia, namun tidak    berarti  menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan negara yang ada waktu itu tidak berjalan dengan baik dan benar.
Secara garis besar pengeluaran negara pada zaman Rasulullah sebagai berikut:
Pengeluaran primer
1.      Biaya pertahanan, seperti persenjataan, unta, kuda, dan persediaan.
2.      Penyaluran zakat dan usyr kepada yang berhak menerimanya sesuai ketentuan AlQur’an.
3.      Pembayaraan gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muazin, pejabat negara lainnya.
4.      Pembayaraan upah para sukarelawan.
5.      Pembayaran utang Negara
6.      Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak).
 Pengeluaran sekunder
1.      Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
2.      Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
3.      Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka.
4.      Hadiah untuk pemerintahan negara lain.
5.      Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan muslim.
6.      Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
7.      Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
8.      Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah.
9.      Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya jumlah kecil, yakni 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).
10.  Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan pada perang Khaibar).
Kebijakan pengeluaran non-zakat masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin
1.      Abu Bakar As-Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, kebijakan pengelolaan anggaran yang dilakukan  yaitu dengan langsung membagi habis harta  bait al-mal yang pada saat itu bait al-mal menerima uang sebesar 80.000 dirham dari Bahrain pada masa itu. Sistem pendistribusian seperti ini melanjutkan sistem pendistribusian  pada  masa  Rasulullah,  sehingga  pada  saat  beliau  wafat hanya ada 1 (satu) dirham yang tersisa dalam perbendaharaan keuanga
2.      Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mengambil kebijakan yang berbeda dengan para pendahulunya dalam mengelola bait al- mal.   Kebijakan   yang   diambil   adalah   tidak   menghabiskan   seluruh pendapatan  negara  secara  sekaligus,  melainkan  secara  bertahap  sesuai dengan kebutuhan, sebagian di antaranya digunakan untuk dana cadangan. Dalam  melaksanakan  anggaran  pengeluaran  negara,  Khalifah  Umar   bin Khattab menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang berhasil dikumpulkan dalam bait al-mal. Dana pada bait al-mal adalah milik kaum muslimin, sehingga menjadi tanggung jawab negara menjamin kesejahtraan rakyatnya.
            Pengeluaran non-zakat berdasarkan pendapatannya pada masa Umar bin Khattab adalah:

Ø  Khums dan sedekah, didistribusikan kepada kaum miskin tanpa diskriminasi apakah dia muslim atau non-muslim.
Ø  Kharaj, disimpan untuk cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan kebutuhan umat.
Ø  Fai, jizyah, usyr (pajak perdagangan) digunakan untuk membayar dana pensiun, dana bantuan, serta menutupi biaya administrasi, dan lain sebagainya.
            Dari pemaparan di atas, kemudian ditindaklanjut oleh Khalifah Umar bin Khattab kemudian membentuk sistem dîwân yang menurut pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite pengurus ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya.
            Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan yang berbeda-beda dalam pendistribusian harta bait al-mal sebagai berikut:
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin   mendapat tunjangan  800  dirham,  warga  Madinah  25  dinar,  kaum  muslimin  yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 dirham hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan  pensiun berupa gandum,  minyak, madu, dan    cuka dalam jumlah yang tetap.
3.   Usman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
            Ada  beberapa  kebijakan  pengeluaran  kontroversial  yang  dilakukan Khalifah yang menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, yaitu:
a.       Kebijakan untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al- maal.   Dalam    hal    ini    Usman    mengatakan    dalam  pidatonya: ―Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka. Namun saya mengambil apa yang menjadi hak saya dan saya bagikan kepada saudara-saudara dekatku.‖ Ini berbeda dengan apa yang dilakukan para khalifah sebelumnya.
b.      Menggunakan dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya. Kebijakan ini dianggap kurang tepat oleh sahabat karena menyalahi aturan Allah dalam distribusi zakat sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Kebijakan ini menimbulkan kesulitan bagi pemerintahannya sendiri karena jatah zakat yang seharusnya diberikan kepada fakir miskin dialihkan untuk pembiayaan lain, maka terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin.
c.       Kebijakan  Usman  ra  untuk  memberikan  tambahan  gaji  bagi  para pejabat negara, beberapa di antaranya memiliki hubungan dengan kekerabatan dengannya.
4.      Ali bin Abi Talib (35-40 H/656-661 M)
            Khalifah Ali bin Abi Talib hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalammelaksanakan keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian harta bait al-maal. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura  yang menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-ma‟l dijadikan cadangan, tidak sejalan dengan pedapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan seluruh pendapatan bait almaal yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra. Pada masa beliau dalam alokasi pengeluaran, yang dilakukan hampir sama dengan yang dilakukan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut  yang  ditambah  jumlahnya  pada  masa  Usman,  oleh  Ali  dihilangkan karena daerah sepanjang garis pantai Syria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasaan Muawiyah, sementara Muawiyah   memberontak   kepada Ali dengan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa independen di Syria. Adapun fungsi bait al-maal masih tetap seperti sebelumnya. Pada masa ini tidak ada perubahan yang berarti.
 4.   Masa Khilafah Bani Umayyah
            Ketika dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi bait al-maal berubah. Jika pada masa sebelumnya bait al-maal dikelola dengan  penuh  kehati-hatian  sebagai  amanat  Allah SWT dan amanat rakyat, pada masa pemerintahan Bani Umayyah bait al-maal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat. Keadaan tersebut berlangsung sampai datangnya khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan bait al-maal dari pemasukan harta  yang  tidak  halal  dan  berusaha  mendistribusikannya  kepada  yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para amir (setingkat gubernur) agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah.
            Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan tegas memutus rantai penyimpangan pendapatan dan distribusi keuangan negara oleh aparatur negara bahkan yang masih ada pertalian darah dengannya atau dengan kata lain masih keturunan Bani Umayyah. Beliau memulai kehidupannya sebagai pemimpin dengan membersihkan harta pribadinya dari barang-barang haram dan syubhat serta menyerahkannya ke bait alma>l. Kemudian memulai hidup sederhana bagi ukuran seorang pemimpin dengan wilayah yang luas. Dalam bidang keuangan, Umar melakukan pembenahan dan pengelolaan keuangan negara secara total, yaitu dengan menghapuskan penyimpangan- penyimpangan yang terjadi pada era pemerintahan khalifah   sebelumnya, baik dari pengelolaan pemasukan dan pengeluaran maupun pembenahan administrasi negara secara adil dan transparan.
            Khalifah Umar bin Abdul Azis mewarisi pengelolaan keuangan yang telah jauh menyeleweng dari hukum Islam, yang dilakukan oleh para pendahulunya. Sehingga menyebabkan ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran negara. Ketidakseimbangan  yang terjadi kemudian berimbas pada ketidakmerataan distribusi pendapatan negara, seperti tidak meratanya pembangunan antarkota dan melebarnya kesenjangan antara kondisi rakyat dan  pejabat  pemerintahan.  Dengan  alasan  tersebut,  Umar  memandang bahwa pembenahan secara lebih mendasar merupakan pilihan utama yang tidak dapat dihindari. Maka beliau memerintahkan seseorang untuk mencari jurisprudensi milik kakeknya Umar bin Khattab kemudian menjadikannya sebagai dasar awal kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang tentu dengan ada beberapa perubahan sesuai kebutuhan pada zaman itu.
            Untuk  menghindari  kecurangan  dan  penyimpangan  jabatan dikarenakan gaji yang tidak mencukupi, Umar membuat kebijakan dengan menaikkan gaji para pejabat. Bahkan, karena gaji yang tinggi dianggap lebih dan cukup maka ia melarang para pejabat untuk berdagang atau mempunyai aktifitas lain yang akan mengganggu konsentrasi mereka    dalam menjalankan roda pemerintahan.
5.    Masa Khilafah Bani Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M)
            Di era Dinasti Abbasiyah di Baghdad, khalifah membangun Perpustakaan Al Hikmah, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi, seperti Nizhomiyah. Baghdad kala itu sudah menjadi kota metropolitan. Pada saat yang sama, Barat masih gelap gulita. Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Ar-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya.Pendapatan negara dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset ilmiah dan penterjemahan buku-buku Yunani, di samping untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai.
            Pada masa Harun Ar-Rasyid ada beberapa kebijakan yang ditanamkan beliau pada masa kepemimpinannya, di antaranya adalah:
a.       Meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal  yang berbasis pada keadilan dan maslahah
b.      Mengklasifikasikan secara umum penerimaan negara pada 3 kategori utama, yaitu; ganimah, usyr dan kharaj yang pemungutannya memiliki aturan-aturan tersendiri.


Sumber : Buku Wajib Fungsionaris  KSEI FE Unnes 2016


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH Pendekatan Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer Pendekatan   ini   biasa   disingkat   dengan   pendekatan      induktif,      yang dipelopori   oleh   AAOIFI   (Accounting   and   Auditing   Organization   for   Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan dengan intitusi yang   memerlukannya.   Selain   itu,   pendekatan   ini   sesuai   dengan   prinsip   ibaha (boleh)   yang   menyatakan   bahwa   segala   sesuatu   yang   terkait   dalam   bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya. Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat   yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI Sejak abad VIII, Bangsa Arab berlayar sepanjang pantai Arabi dan India, singgah di Italia dan menjual barang dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Buku Pacioli di dasarkan pada tulisan Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Algebra (pada saat itu ditulis dalam bahasa Arab), yang berisikan dasar-dasar mengenai bookkeeping. Bookkeeping sebenarnya telah dipraktekkan pertama kali oleh para pedagang dan berasal dari Mesir.   Pada   akhir   abad   XV,   Eropa   mengalami   standstill   dan   tidak   dapat ditemukan adanya kemajuan yang berarti dalam metode akuntansi.              Istilah    Zornal    (sekarang   journal)    telah    lebih    dahulu    digunakan    oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Double entry   yang   ditulis   oleh   Pacioli,   telah   lama   dipraktekkan   dalam   pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi d

Riba dalam Perspektif non-Muslim

                 Meskipun istilah riba disebut di dalam Al-Qur’an, namun istilah tersebut tidak terdapat penjelasan secara detail dalam praktik Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, bahwa ayat yang berkaitan dengan riba diturunkan pada akhir kehidupan Rasulullah SAW sehingga tidak banyak contoh kasus orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang istilah tersebut. Kedua, riba merupakan istilah yang telah mapan dan terkenal pada saat pewahyuannya dan karena itu Rasulullah tidak merasa adanya kebutuhan akan penjelasan atau elaborasi lebih lanjut. Secara literal, riba merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti kelebihan, tambahan. Kata kerja yang berkaitan dengan kata ini berarti; meningkatkan, melipatgandakan, melebihkan, mengambil lebih dari yang seharusnya, atau melakukan praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga tinggi. Menurut Lane, istilah riba bermakna:             “meningkatkan, memperbesar, menambah, tambahan terlarang, menghasil