Langsung ke konten utama

KEBIJAKAN KEUANGAN PUBLIK ISLAM (KLASIK)


KEBIJAKAN KEUANGAN PUBLIK ISLAM (KLASIK)
Kebijakan pengeluaran negara tidak pernah lepas dari pengeluaran non- zakat. Pengeluaran non-zakat adalah salah satu instrumen penting dalam suatu negara sebagai fasilitas untuk melancarkan program pengeluaran negara. Pengeluaran non-zakat dalam Islam diartikan tentunya sebagai pengeluaran- pengeluaran   yang   sesuai   dengan   tuntutan   Islam.   Adapun   yang   termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan dan pendidikan.
Kaidah Belanja Negara Dalam Islam
            Belanja negara adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan dana perimbangan (Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 35 Tahun 2000 Tentang APBN Tahun 2001).
Dalam konsep ekonomi Islam, belanja negara harus sesuai dengan syari’ah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disyariatkan dalam Al-Qur’an dan as-sunah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut sebagai berikut:
1.      Bahwa timbangan kebijakan pengeluaran dan belanja pemerintahan harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.      Menghindari masyaqqah, (al-masyaqqah), menurut arti bahasa     adalah at-ta’ab, yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran.
3.      Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat skala besar.
4.      Pengorbanan individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
5.      Kaidah ―al-giurmu  bil gunmi‟, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
6.      Kaidah “ma‟ la‟ yatimmu al-wa‟jibu illa‟ bihi fahuwa wa‟jib”, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa; ―sesuatu  hal yang wajib ditegakkan, dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam merealisasikan efektivitas dan efisiensi dalam pola pembelanjaan pemerintah dalam Islam sehingga tujuan- tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sebagai berikut:
1.      Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2.      Pengeluaran sebagai alat retribusi kekayaan.
3.      Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4.      Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5.      Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
            Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:
1.      Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2.      Belanja  umum   yang   dapat   dilakukan   pemerintah   apabila  sumber dananya tersedia
3.      Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.
Adapun   kaidah   syariah   yang   berkaitan   dengan   belanja   kebutuhan operasional pemerintah yang rutin mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas, secara lebih rinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini:
1.      Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pemerintah.
2.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dalam biaya semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
3.      Kaidah selanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaannya,   walaupun   dibolehkan   berpihak   pada   kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nas-nas yang sahih seperti pada kasus “alhima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketika Rasulullah mengkhususkan tanah untuk pengembalaan ternak kaum duafa, Rasulullah melarang ternak-ternak milik para agniya atau orang kaya yang   mengembala di sana. Bahkan Umar berkata: ―Hati-hati jangan sampai ternak Abdurrahman bin Auf mendekati  lahan pengembalaan kaum duafa.
4.      Kaidah  atau  prinsip  komitmen  dengan  aturan  syariah,  maka  alokasi belanja negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
5.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib, sunah, dan mubah.
Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek  yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk belanja seperti ini biasanya melalui mekanisme produksi barang-barang yang  disubsidi.  Subsidi  sendiri  sesuai  dengan  konsep  syariah  yang  memihak kepada   kaum   fuqara   dalam   hal   kebijakan   keuangan,   yaitu   bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut di antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung.

Sumber : Buku Wajib Fungsionaris  KSEI FE Unnes 2016


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH Pendekatan Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer Pendekatan   ini   biasa   disingkat   dengan   pendekatan      induktif,      yang dipelopori   oleh   AAOIFI   (Accounting   and   Auditing   Organization   for   Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan dengan intitusi yang   memerlukannya.   Selain   itu,   pendekatan   ini   sesuai   dengan   prinsip   ibaha (boleh)   yang   menyatakan   bahwa   segala   sesuatu   yang   terkait   dalam   bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya. Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat   yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI Sejak abad VIII, Bangsa Arab berlayar sepanjang pantai Arabi dan India, singgah di Italia dan menjual barang dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Buku Pacioli di dasarkan pada tulisan Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Algebra (pada saat itu ditulis dalam bahasa Arab), yang berisikan dasar-dasar mengenai bookkeeping. Bookkeeping sebenarnya telah dipraktekkan pertama kali oleh para pedagang dan berasal dari Mesir.   Pada   akhir   abad   XV,   Eropa   mengalami   standstill   dan   tidak   dapat ditemukan adanya kemajuan yang berarti dalam metode akuntansi.              Istilah    Zornal    (sekarang   journal)    telah    lebih    dahulu    digunakan    oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Double entry   yang   ditulis   oleh   Pacioli,   telah   lama   dipraktekkan   dalam   pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi d

Riba dalam Perspektif non-Muslim

                 Meskipun istilah riba disebut di dalam Al-Qur’an, namun istilah tersebut tidak terdapat penjelasan secara detail dalam praktik Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, bahwa ayat yang berkaitan dengan riba diturunkan pada akhir kehidupan Rasulullah SAW sehingga tidak banyak contoh kasus orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang istilah tersebut. Kedua, riba merupakan istilah yang telah mapan dan terkenal pada saat pewahyuannya dan karena itu Rasulullah tidak merasa adanya kebutuhan akan penjelasan atau elaborasi lebih lanjut. Secara literal, riba merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti kelebihan, tambahan. Kata kerja yang berkaitan dengan kata ini berarti; meningkatkan, melipatgandakan, melebihkan, mengambil lebih dari yang seharusnya, atau melakukan praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga tinggi. Menurut Lane, istilah riba bermakna:             “meningkatkan, memperbesar, menambah, tambahan terlarang, menghasil