Langsung ke konten utama

KONSUMSI ISLAMI

KONSUMSI ISLAMI
Nilai-nilai Konsumsi Islami
Pada umumnya, orang-orang mengetahui bahwa kegiatan konsumsi ekonomi konvensional didukung dengan dua nilai pokok, yaitu nilai rasionalisme dan nilai utilitarisme, nilai rasionalisme terwujud dari pemikian kegiatan  konsumsi  yang  merupakan  kegiatan  yang  wajar  dilakukan  oleh makluk hidup, sedangkan nilai utilitarisme terbentuk atas konsep adanya nilai guna atau kebutuhan. Gabungan dua nilai tersebut pada akhirnya menciptakan suatu model sifat dan sikap pada diri masing-masing individu, sifat dan sikap tersebut dikenal dengan nama materialistik dan hedonistik. Muara dari sifat dan sikap tersebut adalah pemborosan (wastefull).
Perlu diketahui bahwa nilai rasionalisme   maka   manusia   cenderung   bersifat   individualistik   dalam memenuhi  kebutuhannya.  Konsumsi  bukan  lagi  sekedar  pemenuhan kebutuhan,  tetapi  juga  memenuhi  keinginan.  Butuh  atau  tidak,  selama  ada keinginan, anggran yang mencukupi, serta kepuasan tersendiri, maka seseorang akan menggunakan produk dan jasa yang ditawarkan. Corak prilaku seperti itu tentu bertentangan dengan nilai-nilai syar‗i, sehingga dalam ekonomi mikro yang berbasis syariah, corak konsumsi seperti itu tidak diperbolehkan.Adapun kegiatan konsumsi yang ideal dalam syariat Islam yaitu berlandaskan pada hal-hal berikut ini:
Keseimbangan antara Kebutuhan dan Keinginan
Dalam teori umum telah dijelaskan bahwa kegiatan konsumsi bisa terjadi karena adanya permintaan pasar terhadap barang dan jasa, sedangkan permintaan barang dan jasa tidak terlepas dari keinginan atau hasrat (want) dengan kebutuhan (need). Dalam ekonomi mikro berbasis konvensional, keinginan menjadi dasar paling dominan bagi individu dalam melakukan kegiatan konsumsi. Namun, dalam ekonomi mikro berbasis syariah, penggerak konsumen melakukan kegiatan konsumsi adalah kebutuhan.
Hal tersebut berlandaskan aturan Islam yang melarang kegiatan cuma-Cuma hanya untuk sekedar memenuhi keinginan semata. Oleh karena itu Islam menekankan agar kegiatan   konsumsi   yang   dilakukan   setiap   individu   harus   berdasarkan kebutuhan (need).Untuk mendukung prilaku konsumsi yang sesuai ajaran Islam, maka kebutuhan dilandasi atas 4 asas pemenuhan, yakni:
Asas Kebenaran (faith, ad dien)
Asas Kehidupan (life, an nas)
Harta Material (property, al mal)
Ilmu Pengetahuan (science, al aql, al ‗ilmu)
Kemurnian dan Kualitas
Ekonomi  syariah  menganjurkan  agar kegiatan konsumsi  ditujukan pada penggunan barang-barang yang halal (mencakup nilai kebaikan dan manfaat). Menggunakan barang-barang yang tidak halal mencerminkan suatu perilaku pemborosan yang membawa mudarat bagi diri sendiri dan orang lain. Contohnya, Islam mengajarkan berpakaian halal, maka halal disini tujuannya mencakup halhal berikut:
Sumber  pakaian  tersebut  berasal,  diperoleh  dari  cara  yang  benar (bukan hasil curian).
Bagaimana kondisi pakaian tersebut. Menutup aurat atau tidak. Jika tidak, maka selain dosa ditanggung diri sendiri, orang yang ikut menikmati  saat  pakaian  tersebut  dikenakan  ikut  menanggung  dosa pula.
Nilai kepatutan pakaian tersebut dikenakan, contohnya, pakaian pesta tidak pantas dikenakan dalam kegiatan sehari-hari, karena akan menimbulkan kesan berlebih-lebihan.
Tujuan Utama Kegiatan Konsumsi itu Sendiri
Umat Islam diperbolehkan mengonsumsi suatu barang atau jasa asal tidak melenceng dari tujuan-tujuan berikut ini:
Untuk memenuhi kebutuhan
Untuk  mewujudkan  sebuah  keindahan  atau  seni.  Misalnya, menggunakan aksesori seadanya dalam acara-acara tertentu.
Untuk   menyalurkan   bantuan   pada   pihak   yang   membutuhkan. Misalnya, membeli 10 lusin buku untuk kemudian menyalurkannya kepada anak-anak yang kurang mampu.
Untuk  mendapatkan  keseimbangan  hidup.  Misalnya,  seseorang menggunakan jasa terapis untuk mendapatkan layanan pijat tubuh. Hal tersebut disebabkan karena antara kesibukan sehari-hari harus diseimbangkan dengan kegiatan relaksasi.
Keseimbangan antara Kegiatan Konsumsi, Investasi dan Ibadah
Kegiatan   konsumsi   seorang   muslim   akan   berbeda   dengan   kegiatan konsumsi seorang non muslim. Konsumsi yang dilakukan oleh seorang muslim harus diimbangi dengan kewajiban membayar zakat. Penilaian seseorang dianggap mampu atau tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan berikut ini:
Jumlah pendapatan yang diperoleh. Apakah jumlah pendapatan yang mereka terima dapat memenuhi seluruh kebutuhan atau tidak, terutama kebutuhan vital.
Jumlah kebutuhan yang harus dikeluarkan. Apakah jumlah kebutuhan yang  harus  mereka  keluarkan  bisa  melebihi  kebutuhan  pokok  atau tidak.
Jumlah investasi yang dimiliki. Apakah ada investasi yang berasal dari sisa penghasilan yang telah dikurangi dengan kebutuhan atau tidak.
Jika dari ketiga pertimbangan tersebut diperoleh jawaban ―ya‖ seseorang dapat dikatakan mampu. Maka atas kemampuan yang dimilikinya, ia wajib bayar zakat fitrah maupun zakat harta, sehingga antara kegiatan konsumsi, investasi, dan ibadah bisa berjalan seimbang.
Untuk Menghindari Diri dari Perbuatan Riba
Seperti yang kita ketahui bahwa kegiatan konsumsi tidak terbatas hanya pada penggunaan barang, tapi juga penggunaan jasa. Mengonsumsi jasa sama artinya menggunakan jasa atas suatu pelayanan  yang ditawarkan. Misalnya menggunakan jasa bank syariah. Penggunaan jasa bank syariah ditujukan, agar masyarakat bisa menghindari diri dari perbuatan riba. Pada bank konvensional, terdapat ketetapan bunga, sedangkan pada bank syariah tidak terdapat bunga, melainkan bagi hasil.
Pada bank syariah, uang yang dihimpun disalurkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan untuk selanjutnya dikelola dalam ajaran Islam. Dengan demikian, uang tidak mengendap begitu saja di bank. Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan perniagaan dibagi rata antara pihak bank dan nasabah. Bila terjadi kerugian, risikonya pun ditanggung oleh kedua belah pihak. Ketentuan seperti itu disebut dengan bagi hasil.
Pengelolaan Harta yang Benar
Islam melarang menimbun harta dalam bentuk apa pun. Oleh sebab itu, ada anjuran untuk membelanjakan harta di jalan yang benar. Mengonsumsi sesuatu yang baik, benar dan halal adalah salah satu cara mengelola uang. Kegiatan mengonsumsi   seseuatu   bisa   dilakukan   atas   dasar   kegiatan   berbisnis. Contohnya, seseorang membeli perabotan toko dan sejumlah barang-barang tekstil. Kegunaannya untuk membuka toko dan berdagang pakaian atau barang- barang tekstil.
Sumber : Buku Wajib Fungsionaris  KSEI FE Unnes 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH Pendekatan Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer Pendekatan   ini   biasa   disingkat   dengan   pendekatan      induktif,      yang dipelopori   oleh   AAOIFI   (Accounting   and   Auditing   Organization   for   Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan dengan intitusi yang   memerlukannya.   Selain   itu,   pendekatan   ini   sesuai   dengan   prinsip   ibaha (boleh)   yang   menyatakan   bahwa   segala   sesuatu   yang   terkait   dalam   bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya. Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat   yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI Sejak abad VIII, Bangsa Arab berlayar sepanjang pantai Arabi dan India, singgah di Italia dan menjual barang dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Buku Pacioli di dasarkan pada tulisan Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Algebra (pada saat itu ditulis dalam bahasa Arab), yang berisikan dasar-dasar mengenai bookkeeping. Bookkeeping sebenarnya telah dipraktekkan pertama kali oleh para pedagang dan berasal dari Mesir.   Pada   akhir   abad   XV,   Eropa   mengalami   standstill   dan   tidak   dapat ditemukan adanya kemajuan yang berarti dalam metode akuntansi.              Istilah    Zornal    (sekarang   journal)    telah    lebih    dahulu    digunakan    oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Double entry   yang   ditulis   oleh   Pacioli,   telah   lama   dipraktekkan   dalam   pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi d

Riba dalam Perspektif non-Muslim

                 Meskipun istilah riba disebut di dalam Al-Qur’an, namun istilah tersebut tidak terdapat penjelasan secara detail dalam praktik Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, bahwa ayat yang berkaitan dengan riba diturunkan pada akhir kehidupan Rasulullah SAW sehingga tidak banyak contoh kasus orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang istilah tersebut. Kedua, riba merupakan istilah yang telah mapan dan terkenal pada saat pewahyuannya dan karena itu Rasulullah tidak merasa adanya kebutuhan akan penjelasan atau elaborasi lebih lanjut. Secara literal, riba merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti kelebihan, tambahan. Kata kerja yang berkaitan dengan kata ini berarti; meningkatkan, melipatgandakan, melebihkan, mengambil lebih dari yang seharusnya, atau melakukan praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga tinggi. Menurut Lane, istilah riba bermakna:             “meningkatkan, memperbesar, menambah, tambahan terlarang, menghasil