Langsung ke konten utama

EKONOMI MIKRO ISLAM

EKONOMI MIKRO ISLAM

Para ekonom Muslim menyatakan tidak selamanya kelangkaan dan ketidak terbatasan keinginan manusia menjadi masalah dan perdebatan ekonomi. Baqir as- Sadr berpendapat bahwa sumber daya itu hakikatnya melimpah dan tidak terbatas. Pendapat ini didasarkan pada dalil  yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah dengan ukuran setepat-tepatnya. Berbeda dengan ekonom Muslim yang menyatakan bahwa masalah ekonomi memang bersumber dari kelangkaan, tetapi, karena manusia adalah khalifah maka manusia bertaggung jawab untuk mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang diberikan oleh Allah, karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Diantara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam tidak akan bisa dikompromikan satu dengan yang lain, karena masing-masing didasari pada pandangan yang berbeda. Dimana  ekonomi  konvensional  melihat  ilmu  sebagai  sesuatu  yang  secular (orientasi hanya pada kehidupan dunia), sementara ekonomi Islam justru dibangun atas, atau paling tidak diwarnai oleh prinsip-prinsip religious (orientasi pada kehidupan dunia dan akhirat).
Karakteristik Ekonomi Mikro Islam
Ekonomi   Islam   pengaturannya   bersifat   ketuhanan/   ilahiah   (nizhamun rabbaniyyun), mengingat dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oleh manusia, akan tetapi didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah swt. sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan’ as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni kapitalis (ra’simaliyah; capitalistic)  dan  sosialis  (syuyu`iyah;  socialistic)  yang  tata  aturannya semata-mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang dihadirkan oleh manusia (para ekonom).
Dalam  Islam,  ekonomi  hanya  merupakan  satu  titik  bagian  dari  al-Islam secara keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Oleh karena ekonomi itu hanya merupakan salah satu bagian atau tepatnya sub sistem dari al- Islam  yang bersifat komprehensip (al-Islam as-syamil), maka ini artinya tidaklah mungkin memisahkan persoalan ekonomi dari rangkaian ajaran Islam secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh (holistik). Misalnya saja, karena Islam itu agama akidah dan agama akhlak di samping agama  syariah  (muamalah),  maka  ekonomi  Islam  tidak  boleh  terlepas apalagi dilepaskan dari ikatannya dengan sistem akidah dan sistem akhlaq (etika) di samping hukum. Itulah sebabnya mengapa ekonomi Islam tetap dibangun di atas asas-asas akadiah (al-asas al-`aqa‗idiyyah) dan asas-asas etika-moral (al-asas akhlaqiyyah) yang lainnya.
Ekonomi   berdimensi   akidah   atau   keakidahan   (iqtishadun   `aqdiyyun), mengingat  ekonomi  Islam  itu  pada  dasarnya  terbit  atau  lahir  (sebagai ekspresi) dari akidah Islamiah (al-`aqidah al-Islamiyyah) yang di dalamnya akan dimintakan pertanggung-jawaban terhadap akidah yang diyakininya. Atas  dasar ini  maka seorang Muslim  (menjadi) terikat  dengan  sebagian kewajibannya semisal  zakat,  sedekah  dan  lain-lain  walaupun dia sendiri harus kehilangan sebagian kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan pahala dari Allah s.w.t.
Berkarakter ta`abbudi (thabi`un ta`abbudiyun). Mengingat ekonomi Islam itu merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham rabbani), dan setiap ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak aturan-aturan Nya adalah berarti ketaatan kepada Allah s.w.t., dan setiap ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah. Dengan demikian maka penerapan aturan-aturan ekonomi Islam  (al-iqtishad  al-Islami)  adalah  juga  mengandung  nilai-nilai  ibadah dalam konteksnya yang sangat luas dan umum.
Terkait  erat  dengan  akhlak (murtabithun  bil-akhlaq),  Islam  tidak  pernah memprediksi kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan ekonomi, juga tidak  pernah  memetakan  pembangunan  ekonomi  dalam  lindungan  Islam yang tanpa akhlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah menemukan aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang semata-mata murni kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non Islam. Dalam Islam, kegiatan ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali akhlaq (etika-moral) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan.
Elastis   (al-murunah),   dalam   pengertian   mampu   berkembang   secara perlahan-lahan atau evolusi. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada kenyataan   bahwa   baik   al-Qur‗an   maupun   al-Hadits,   yang   keduanya dijadikan   sebagai   sumber   asasi   ekonomi,   tidak   memberikan   doktrin ekonomi secara tekstual akan tetapi hanya memberikan garis-garis besar yang  bersifat  instruktif  guna  mengarahkan  perekonomian  Islam  secara global.  Sedangkan  implementasinya  secara  riil  di  lapangan  diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat ekonomi) sepanjang tidak menyalahi cita-cita syari`at (maqashid as-syari`ah).
Objektif (al-maudhu`iyyah), dalam pengertian, Islam mengajarkan umatnya supaya berlaku dan bertindak obyektif dalam melakukan aktifitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada hakekatnya merupakan pelaksanaan amanat yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku ekonomi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnik, agama/kepercayaan dan lain-lain. Bahkan terhadap  musuh  sekalipun  di  samping  terhadap  kawan  dekat.  Itulah sebabnya mengapa monopoli misalnya dilarang dalam Islam. Termasuk ke dalam  hal  yang  dilarang  ialah  perlakuan  dumping  dalam berdagang/berbisnis.
Memiliki   target   sasaran/tujuan   yang   lebih   tinggi   (al-hadaf   as-sami). Berlainan dengan sistem ekonomi non Islam yang semata-mata hanya untuk mengejar kepuasan materi (ar-rafahiyah al-maddiyah), ekonomi Islam memiliki   sasaran   yang   lebih   jauh   yakni   merealisasikan   kehidupan kerohanian yang lebih tinggi (berkualitas) dan pendidikan kejiwaan.
Realistis   (al-waqi`iyyah).   Prakiraan   (forcasting)   ekonomi   khususnya prakiraan bisnis tidak selamanya sesuai antara teori di satu sisi dengan praktek pada sisi yang lain. Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan terjadi pengecualian atau bahkan penyimpangan dari hal-hal yang semestinya. Misalnya, dalam keadaan normal, Islam mengharamkan praktek jual-beli barang-barang yang diharamkan untuk mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan darurat (ada kebutuhan sangat mendesak) pelarangan itu bisa jadi diturunkan statusnya menjadi boleh atau sekurang-kurangnya tidak berdosa.
Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Alah s.w.t. Dalam prinsip ini terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap harta kekayaan (al-amwal) tidaklah bersifat mutlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus diklola dan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Sang Maha Pemilik yaitu Allah s.w.t. Atas  dalih  apapun,  seseorang  tidak  boleh  bertindak  sewenang-wenang dalam   mentasarrufkan   (membelanjakan)   harta   kekayaannya,   termasuk dengan dalih bahwa harta kekayaan itu milik pribadinya.
Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al- mal). Para pemilik harta perlu memiliki kecerdasan/kepiawaian dalam mengelola atau mengatur harta kekayaannya semisal berlaku hemat dalam berbelanja,  tidak  menyerahkan  harta  kepada  orang  yang  belum/tidak mengerti tentang pendayagunaannya, dan tidak membelanjakan hartanya ke dalam hal-hal yang diharamkan agama, serta tidak menggunakannya pada halhal yang akan merugikan orang lain.

         Sumber : Buku Wajib Fungsionaris  KSEI FE Unnes 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH

PENDEKATAN DALAM MENGEMBANGKAN AKUNTANSI SYARIAH Pendekatan Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer Pendekatan   ini   biasa   disingkat   dengan   pendekatan      induktif,      yang dipelopori   oleh   AAOIFI   (Accounting   and   Auditing   Organization   for   Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan dengan intitusi yang   memerlukannya.   Selain   itu,   pendekatan   ini   sesuai   dengan   prinsip   ibaha (boleh)   yang   menyatakan   bahwa   segala   sesuatu   yang   terkait   dalam   bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya. Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat   yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI

HUBUNGAN PERADABAN ISLAM DENGAN BUKU PACIOLI Sejak abad VIII, Bangsa Arab berlayar sepanjang pantai Arabi dan India, singgah di Italia dan menjual barang dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Buku Pacioli di dasarkan pada tulisan Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Algebra (pada saat itu ditulis dalam bahasa Arab), yang berisikan dasar-dasar mengenai bookkeeping. Bookkeeping sebenarnya telah dipraktekkan pertama kali oleh para pedagang dan berasal dari Mesir.   Pada   akhir   abad   XV,   Eropa   mengalami   standstill   dan   tidak   dapat ditemukan adanya kemajuan yang berarti dalam metode akuntansi.              Istilah    Zornal    (sekarang   journal)    telah    lebih    dahulu    digunakan    oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Double entry   yang   ditulis   oleh   Pacioli,   telah   lama   dipraktekkan   dalam   pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi d

Riba dalam Perspektif non-Muslim

                 Meskipun istilah riba disebut di dalam Al-Qur’an, namun istilah tersebut tidak terdapat penjelasan secara detail dalam praktik Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, bahwa ayat yang berkaitan dengan riba diturunkan pada akhir kehidupan Rasulullah SAW sehingga tidak banyak contoh kasus orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang istilah tersebut. Kedua, riba merupakan istilah yang telah mapan dan terkenal pada saat pewahyuannya dan karena itu Rasulullah tidak merasa adanya kebutuhan akan penjelasan atau elaborasi lebih lanjut. Secara literal, riba merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti kelebihan, tambahan. Kata kerja yang berkaitan dengan kata ini berarti; meningkatkan, melipatgandakan, melebihkan, mengambil lebih dari yang seharusnya, atau melakukan praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga tinggi. Menurut Lane, istilah riba bermakna:             “meningkatkan, memperbesar, menambah, tambahan terlarang, menghasil