AKAD DALAM ISLAM
Makna Akad (Kontrak)
Pengertian Akad Dalam Bahasa Arab
Kata ― al ‘aqd dalam bahasa Arab digunakan dalam beberapa pengertian. Di antaranya mengikat, seperti dalam kalimat (‘aqada al habla/ia mengikat tali). Ia juga berarti memperkuat dan mempererat seperti dalam kalimat (‘aqada shilatan thayyibatan bi fulan/ia mempererat hubungan baik dengan si anu). Arti mempererat ialah mengikat kuat.
Pengertian Akad Dalam Istilah Fiqh Islam
Sebelum menganalisa pengertian kata akad dalam istilah fiqh Islam, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu bahwa kata akad yang dikenal dalam bahasa Arab tersebut digunakan pula dalam Al Quran, yaitu dalam firman Allah Ta’ala:
ا◌◌ أ ا ا ا أﻣﻰأ نهر فا ◌ ب انعقد ◌
“Hai orang-orang yang beriman laksanakanlah akad-akad kamu.” Ayat ini mewajibkan orang-orang yang beriman agar melaksanakan akad mereka, baik akad dengan Tuhan maupun sesama manusia. Para ahli fiqh Islam menggunakan istilah akad berdasarkan ayat 1 Surah Al Maidah tersebut. Namun ada di antara ahli fiqh yang menggunakan kata akad dalam pengertian khusus dan ada pula dalam pengertian umum. Pengertiannya di kalangan para ahli fiqh inilah yang menjadi pedoman dalam pembahasan ini. Untuk jelasnya berikut ini dikemukakan dua contoh akad.
Wakaf sudah sah apabila pemberi wakaf telah menyatakan mewakafkan hartanya kepada yang diberi wakaf, tanpa harus ada pernyataan kabul (penerimaan) dari pihak yang diberi wakaf.
Berbeda dengan jual beli. Jual beli tidak sah kecuali apabila terdapat pernyataan dari dua pihak, yaitu dari pihak penjual yang menyatakan menjual barangnya dan dari pihak pembeli yang menyatakan kabul (menerima) membelinya.
Pengertian Umum
Ada ahli fiqh yang menyebut kedua contoh di atas termasuk akad. Mereka memandang setiap yang mengandung tekad seseorang melakukannya adalah akad, baik tekad tersebut dari satu pihak saja, seperti wakaf, maupun harus ada sambutan dari pihak lain yang mempunyai kehendak yang sama, seperti menjual rumah orang lain disambut pembelinya.
Alasan mereka ialah karena kedua contoh di atas mengungkapkan keinginan kuat untuk melakukan akad. Dalam buku-buku fiqh dari pendukung mazhab Maliki, Syafii dan Hambali dapat dijumpai penggunaan kata akad dalam pengertian ini.
Pengertian Khusus
Mereka tidak menggunakan kata akad kecuali pada tindakan yang terjadi antara dua pihak. Karena itu mereka menetapkan pengertian akad adalah :
ج طا ب ﺑﻖ إاب ل ◌ ع هى ◌ج◌ ﺛﺐ◌ ف أي ﺛ ﺲ ث ◌ هﻣﺢ ◌
“Pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan Kabul (yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam pengertian akad yang kedua diatas :
Akad, dalam pandangan ahli fiqh yang membatasi pengertian akad pada contoh yang kedua saja adalah pertalian antara dua orang karena kesesuaian kehendak keduanya.
Pertalian tersebut tidak nyata, tetapi benar-benar ada dalam pandangan hukum.Kehendak tersebut tidak nyata. Cara menyatakan (mengungkapkan) kehendak tersebut, menurut biasanya, ialah pernyataan yang menunjukkan kedua kehendak mereka, dalam bentuk saling sambut dari kedua pihak yang mengadakan akad. Pengungkapan saling sambut tersebut disebut dalam istilah fiqh ijab dan qabul.
Kata akad yang banyak digunakan dalam buku-buku fiqh adalah dalam pengertian yang kedua di atas, yaitu yang menggunakan kata akad pada tindakan yang terjadi antara dua pihak.
Macam-Macam Akad
Dari segi sah dan tidak sah (Akad sahih dan tidak sahih)
Pembahasan akad sahih dan tidak sahih adalah ditinjau dari segi lengkap dan tidak lengkap rukun-rukun dan syarat suatu akad.
Akad sahih
Akad sahih ialah akad yang memenuhi semua unsur asasinya seperti shighat (pernyataan), pihak yang mengadakan akad, obyek akad dan lain- lain, begitu juga memenuhi semua syarat yang diperlukan setiap unsur tersebut.
Pengaruh akad yang sahih ialah menimbulkan akibat hukum, yaitu memberikan hak kepemilikan bagi masing-masing pelaku akad pada obyek akad segera setelah terjadi ijab kabul, selama tidak ada hak khiyar (hak memilih antara melanjutkan atau membatalkan akad).
Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih ialah akad yang tidak memenuhi semua unsur asasinya dan syarat-syaratnya. Contohnya ialah seperti pihak yang mengadakan akad terdiri dari orang yang tidak mempunyai kecakapan. Obyek akadnya berupa bangkai atau darah atau babi atau khamr.
Mayoritas fuqaha (ahli fiqih) memandang bahwa dalam akad yang tidak sahih ini telah tercakup akad yang batil. Jadi akad yang tidak sahih sama artinya dengan akad yang batil.
Akad Yang Makruh Tahrim
Akad batil dilarang karena persoalan asasi. Sedangkan akad yang fasid dilarang karena sesuatu keadaan. Sehubungan dengan pembahasan tentang akad fasid di atas, patut kiranya dikemukakan di sini beberapa bentuk akad yang disoroti islam karena merugikan atau ketidakjelasan. Meskipun demikian syariat memandangnya sah.
An Najsy. Caranya ialah A mempunyai barang yang dijual. Kemudian datang B memberinya harga yang lebih tinggi, bukan karena ia akan membelinya, tetapi untuk menipu orang lain agar berani membelinya lebih mahal, sehingga pemiliknya mendapat untung lebih besar. Hukum an-najsy adalah haram, karena Rasulullah Muhammad saw melarangnya.
ﮫ و: ال صه ھﻠﻼ زﺳﻞ ى ع ھﻠﻼ ى ه ◌◌ س◌ ه ا ﻋﮫ م نىجش
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa ia mengatakan : „Rasulullah saw melarang najsy‟.
Al Jalb. Caranya ialah sebagian pedagang di kota atau kampung menghadang para pedagang yang membawa barang dari luar kota atau kampung pada suatu tempat untuk membeli barang-barang mereka sebelum mereka tiba di pasar utama. Setelah membelinya lalu menjualnya kepada penduduk di kota atau kampung.
Hukumnya, menurut mazhab Hanafi adalah makruh tahrim (mendekati haram) jika merugikan penduduk. Tetapi boleh-boleh saja jika tidak merugikan para pedagang dengan cara menggunakan ketidaktahuan para pedagang akan harga pasaran yang sebenarnya, sehingga mereka dapat membeli barang-barang dengan harga yang lebih murah dan menjualnya dengan harga pasaran.
Melakukan akad jual beli setelah terdengar azan shalat Jumat. Waktu shalat Jumat menurut jumhur fuqaha‗ ialah sejak Imam naik mimbar hingga selesai shalat Jumat. Menurut mazhab Hanafi, sejak azan pertama. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukum jual beli pada saat tersebut. Menurut mazhab Hanafi hukumnya sah tetapi makruh (sebaiknya tidak dilakukan). Menurut mazhab Syafii hukumnya sah juga tetapi haram (mesti tidak dilakukan), karena firman Allah Ta‗ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat Jumat) dan tinggalkanlah jual beli.”
Demikian juga hukum akad-akad selain jual beli harus ditinggalkan setelah Imam naik mimbar, karena akan mengganggu pelaksanaan shalat Jumat. Jelas larangan melakukan akad jual beli dan lain-lain pada saat tersebut tidak menyentuh hakikat akad itu sendiri, tetapi menyentuh waktu akad yaitu akad dilakukan pada waktu shalat Jumat. Akad pada waktu tersebut akan menghambat pelaksanaan kewajiban lain yaitu shalat Jumat.
Dari segi nama (akad Musammah dan ghairu musammah)
Dalam syariat Islam terdapat akad musammah (diberi nama/ditentukan) yaitu akad yang telah diberi nama khusus oleh syariat Islam. Hukum-hukumnya pun dijelaskannya. Contohnya ialah bai, ijarah, hibah, kafalah, dan lain-lain.
Apakah masyarakat Islam hanya terikat dengan cara-cara akad yang telah ditetapkan saja? Sejarah membuktikan bahwa dalam masyarakat Islam muncul akadakad baru yang belum dikenal sebelumnya dalam syariat Islam. Sebabnya ialah pendapat yang terkuat dalam fiqh muamalat ialah bahwa syariat Islam mengizinkan kepada masyarakat Islam membuka akad-akad baru selam tidak melanggar teks, prinsip dan asas-asas syariat Islam.
Mazhab-mazhab fiqh sepakat tentang terbukanya peluang membuka akad- akad baru tersebut. Hanya saja terdapat perbedaan metode penetapannya. Misalnya mazhab Hanafi, Maliki dan Syafii menetapkan akad-akad baru dengan menggunakan sumber-sumber hukum seperti qiyas (menyamakan hukumnya dengan hukum akad-akad musammah) atau „uruf (adat kebiasaan), mashlahah (manfaat), dan lain-lain. Sedangkan mazhab Hambali menggunakan kaidah umum akad baru dapat dibuat apabila tidak melanggar teks, prinsip dan asas-asas syariat Islam. Jelaslah semua akad baru tersebut harus mempunyai landasan hukum dari syariat Islam.
Karena itulah dalam norma-norma akad dalam fiqh Islam terdapat akad ghairu musammah (yang tidak diberi nama/tidak ditentukan) yaitu akad yang tidak diberi nama khusus dalam syariat Islam, tetapi dibuat dan diberi nama oleh para fuqaha‗ (ahli fiqh) sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Contohnya seperti ( ا istishna), ( ب ءافنا bai‟ al wafa), ( ا ﻧﺤﺤﻜﺲ tahkir), ت لا ◌ ت ا ﻧﻖﻤا ( ﺷﺴﺮ ا macam-macam perusahaan pemborongan), ن ل ﻋﺎ ل اا ◌ ن ﯨﺶس ة د ا ◌ ﻖﻋ (akad untuk iklan) dan lain lain.
Dari segi cara pelaksanaannya (form)
Ada akad yang harus dilaksanakan dengan cara tertentu seperti perkawinan harus disaksikan oleh saksi. Namun ada pula akad yang cukup dengan adanya ridha (suka sama suka). Sebelum dakwah Muhammad saw telah dikenal akad- akad dengan cara-cara tertentu. Dalam masyarakat Romawi dikenal akad-akad dengan cara-cara khusus. Misalnya kontrak jual beli, perkawinan, dan lain-lain, mempunyai cara-cara tertentu. Jika cara-cara yang ditentukan tidak dilaksanakan, maka akad tidak sah.
Contohnya mereka mensyaratkan kehadiran benda yang dijual di tempat akad jual beli. Sehingga hanya benda bergerak saja yang dapat diperjualbelikan. Bagi orang yang terpaksa menjual benda tidak bergerak seperti tanah, ia harus membawa sebagian tanahnya ke tempat akad jual belinya, sebagai simbol kehadiran tanah di tempat akad jual beli. Ini membuktikan bahwa akad yang berlaku dalam masyarakat Romawi selalu tunduk kepada cara-cara khusus. Mereka belum memperhitungkan suka sama suka, baik dalam jual beli, sewa menyewa, maupun perkongsian, kecuali dalam keadaan darurat.
Al Quran dan Sunnah lebih mempermudah kontrak jual beli dengan cara :
Membebaskan akad jual beli dari berbagai cara yang tampak sebagai perbuatan yang tidak berarti.
Menjadikan ridha (rela) sebagai asas dalam akad, bukan cara-cara khusus.
◌ ج لا رأه ◌ أ ام ◌ ب ﯨٍﺑﻢﻜ اﻧﻜ ﻢ ا انبطام ﺟﻚ نأ لا ◌ ا ﺟﺞ ن ز ج ﻋﮫ ة ﻜﯨﻣ ﻢ ﺳﺎ ض
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Rasulullah saw juga menjelaskan : “Jual beli itu hendaklah dilandasi suka sama suka.”
Dari sini lahirlah ijab qabul sebagai pengungkap ridha (rela) tersebut. Karena itu akad jual beli dipandang sah apabila mengandung hal-hal sebagai berikut :
Ijab qabul sebagai pengungkap rasa ridha (rela) secara penuh untuk mengadakan akad jual beli.
Ijab qabul tersebut dilakukan oleh orang yang mempunyai ahliah (kecakapan menurut hukum untuk mengadakan kontrak).
Namun demikian tidak berarti Islam menghapus cara-cara khusus secara keseluruhan. Buktinya Islam masih mendang perlu diadakan cara-cara khusus dalam sebagian kontrak, yaitu :
Apabila cara khusus tersebut menyentuh tujuan kontrak. Contohnya Islam menetapkan bahwa kontrak sumbangan dan gadai baru sah jika barang yang disumbangkan dan digadaikan telah diterima oleh yang menerima sumbangan dan yang menerima gadai.
Apabila cara khusus tersebut menjadi landasan buat terwujudnya suatu kepentingan yang berarti. Contohnya Islam menetapkan bahwa kontrak akad nikah hanya sah jika disaksikan oleh dua orang saksi.
Dari segi mengikat dan kemungkinan pembatalannya
Termasuk dalam bagian empat macam akad, yaitu :
Akad yang lazim (mengikat) bagi kedua pihak yang mengadakan akad dan tidak dapat diputuskan seperti akad nikah. Ia tidak dapat dihapus, namun dapat diakhiri dengan cara yang sah seperti melalui talak, khulu’, putusan peradilan.
Akad lazim (mengikat) bagi kedua pihak yang mengadakan akad dan dapat di fasakh (diputuskan) dengan persetujuan kedua pihak, seperti semua akad yang tidak mengikat seperti jual beli, perdamaian, dan lain- lain
Akad lazim (mengikat) salah satu pihak saja seperti gadai, kafalah (jaminan). Akad ini mengikat bagi kafil (penjamin/penanggung) dan mengikat bagi yang dijamin. Karena jaminan diadakan buat kepentingan pribadinya, karena itu ia berhak melepaskannya bila ia menghendaki.
Akad-akad yang tidak lazim (tidak mengikat) bagi kedua pihak yang mengadakan akad, yaitu kedua pihak berhak menarik kembali dan membatalkannya seperti wadiah (titipan), ijarah (pinjaman), wakalah (perwakilan).
Dari segi tukar menukar hak (tabadul al huquq)
Akad dari segi ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu :
Akad mu’awadhat (tukar menukar) yaitu masing-masing pihak yang mengadakan akad saling mengambil dari yang lain, seperti jual beli (pembeli mengambil dari penjual barang yang dijual dan penjual mengambil dari pembeli harganya) dan sewa menyewa.
Akad tabarru’at (sumbangan) yaitu pemberian atau bantuan dari salah satu pihak seperti hibah dan pinjaman.
Akad mengandung makna tabarru‟ (sumbangan) tetapi berakhir dengan mu‟awadhat (tukar menukar) seperti pinjaman uang, kafalah (jaminan) dan hibah dengan syarat ada imbalan.
Dari segi akibat akad
Dari segi ini akad dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu munjaz, mudhaf dan mu‟allaq.
Akad munjaz ialah akad yang diucapkan tanpa menggunakan syarat. Akibatnya terwujud ketika akad berlangsung, selama memenuhi rukun dan syaratnya, seperti penjual mengatakan : saya jual sepeda ini kepada Anda. Akibat hukumnya ialah perpindahan kepemilikan dari penjual kepada pembeli, begitu juga perpindahan kepemilikan harga dari pembeli kepada penjual.Secara prinsip, akibat hukum akad seperti ini terjadi setelah berlangsung akad, kecuali akad wasiat dan isha‗ (wasiat dari seorang ayah kepada laki-laki lain yang isinya ―apabila ia meninggal dunia ia minta kesediaannya menjadi wali/pengurus anaknya yang masih kecil‖)
Akad yang dimudhafkan (disandarkan kepada masa datang), yaitu akad yang diucapkan dengan ketentuan pelaksanaannya pada masa akan datang, seperti pemilik rumah mengatakan : saya sewakan rumah saya ini kepada Anda selama satu tahun terhitung sejak awal bulan depan. Secara hukum akad ini sudah sah (terwujud) pada saat berlangsungnya akad akan tetapi akibat hukumnya akan terwujud pada waktu yang telah ditentukan pada masa selanjutnya.
Akad mu‟allaq (pakai syarat) yaitu akad yang diucapkan dengan menggunakan kata yang mengandung makna persyaratan, seperti jika saya berangkat ke Surabaya, maka saudara menjadi wakil saya.Akad ini belum terwujud kecuali ketika terwujud syaratnya. Ada beberapa akad yang tidak dapat disertai syarat yang mengakibatkan tidak jelas masa depannya (membuatnya antara ada dan tidak ada). Contohnya akad yang mengakibatkan pemindahan hak milik harta seperti jual beli. Akad seperti ini tidak dapat disertai syarat seperti tersebut, karena kepemilikan harus tegas. Jika tidak tegas ia menjadi mirip dengan judi.
Dari segi tujuan akad
Dari segi ini akad terbagi kepada 5 bagian, yaitu :
Menimbulkan milik seperti jual beli.
Menimbulkan kebersamaan seperti syarikah dan mudharabah.
Menimbulkan jaminan seperti kafalah.
Menimbulkan mandat dan perwakilan seperti wakalah.
Menimbulkan pemeliharaan seperti wadiah.
Dari segi segera dan kelestariannya
Akad dari segi ini terbagi kepada dua bagian, yaitu :
Akad segera, yaitu pelaksanaannya dengan segera dan sekaligus pada waktu yang dipilih kedua pihak yang mengadakan akad seperti jual beli, meskipun pembayarannya ditunda.
Akad yang berkelanjutan, yaitu akad yang pelaksanaannya berlangsung hingga suatu masa, sehingga masa merupakan unsur asasi dalam pelaksanaannya, seperti sewa menyewa, pinjam meminjam, wakalah (perwakilan). Karena itu akad-akad ini disebut akad bermasa.
Sumber : Buku Wajib Fungsionaris KSEI FE Unnes 2016
Makna Akad (Kontrak)
Pengertian Akad Dalam Bahasa Arab
Kata ― al ‘aqd dalam bahasa Arab digunakan dalam beberapa pengertian. Di antaranya mengikat, seperti dalam kalimat (‘aqada al habla/ia mengikat tali). Ia juga berarti memperkuat dan mempererat seperti dalam kalimat (‘aqada shilatan thayyibatan bi fulan/ia mempererat hubungan baik dengan si anu). Arti mempererat ialah mengikat kuat.
Pengertian Akad Dalam Istilah Fiqh Islam
Sebelum menganalisa pengertian kata akad dalam istilah fiqh Islam, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu bahwa kata akad yang dikenal dalam bahasa Arab tersebut digunakan pula dalam Al Quran, yaitu dalam firman Allah Ta’ala:
ا◌◌ أ ا ا ا أﻣﻰأ نهر فا ◌ ب انعقد ◌
“Hai orang-orang yang beriman laksanakanlah akad-akad kamu.” Ayat ini mewajibkan orang-orang yang beriman agar melaksanakan akad mereka, baik akad dengan Tuhan maupun sesama manusia. Para ahli fiqh Islam menggunakan istilah akad berdasarkan ayat 1 Surah Al Maidah tersebut. Namun ada di antara ahli fiqh yang menggunakan kata akad dalam pengertian khusus dan ada pula dalam pengertian umum. Pengertiannya di kalangan para ahli fiqh inilah yang menjadi pedoman dalam pembahasan ini. Untuk jelasnya berikut ini dikemukakan dua contoh akad.
Wakaf sudah sah apabila pemberi wakaf telah menyatakan mewakafkan hartanya kepada yang diberi wakaf, tanpa harus ada pernyataan kabul (penerimaan) dari pihak yang diberi wakaf.
Berbeda dengan jual beli. Jual beli tidak sah kecuali apabila terdapat pernyataan dari dua pihak, yaitu dari pihak penjual yang menyatakan menjual barangnya dan dari pihak pembeli yang menyatakan kabul (menerima) membelinya.
Pengertian Umum
Ada ahli fiqh yang menyebut kedua contoh di atas termasuk akad. Mereka memandang setiap yang mengandung tekad seseorang melakukannya adalah akad, baik tekad tersebut dari satu pihak saja, seperti wakaf, maupun harus ada sambutan dari pihak lain yang mempunyai kehendak yang sama, seperti menjual rumah orang lain disambut pembelinya.
Alasan mereka ialah karena kedua contoh di atas mengungkapkan keinginan kuat untuk melakukan akad. Dalam buku-buku fiqh dari pendukung mazhab Maliki, Syafii dan Hambali dapat dijumpai penggunaan kata akad dalam pengertian ini.
Pengertian Khusus
Mereka tidak menggunakan kata akad kecuali pada tindakan yang terjadi antara dua pihak. Karena itu mereka menetapkan pengertian akad adalah :
ج طا ب ﺑﻖ إاب ل ◌ ع هى ◌ج◌ ﺛﺐ◌ ف أي ﺛ ﺲ ث ◌ هﻣﺢ ◌
“Pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan Kabul (yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam pengertian akad yang kedua diatas :
Akad, dalam pandangan ahli fiqh yang membatasi pengertian akad pada contoh yang kedua saja adalah pertalian antara dua orang karena kesesuaian kehendak keduanya.
Pertalian tersebut tidak nyata, tetapi benar-benar ada dalam pandangan hukum.Kehendak tersebut tidak nyata. Cara menyatakan (mengungkapkan) kehendak tersebut, menurut biasanya, ialah pernyataan yang menunjukkan kedua kehendak mereka, dalam bentuk saling sambut dari kedua pihak yang mengadakan akad. Pengungkapan saling sambut tersebut disebut dalam istilah fiqh ijab dan qabul.
Kata akad yang banyak digunakan dalam buku-buku fiqh adalah dalam pengertian yang kedua di atas, yaitu yang menggunakan kata akad pada tindakan yang terjadi antara dua pihak.
Macam-Macam Akad
Dari segi sah dan tidak sah (Akad sahih dan tidak sahih)
Pembahasan akad sahih dan tidak sahih adalah ditinjau dari segi lengkap dan tidak lengkap rukun-rukun dan syarat suatu akad.
Akad sahih
Akad sahih ialah akad yang memenuhi semua unsur asasinya seperti shighat (pernyataan), pihak yang mengadakan akad, obyek akad dan lain- lain, begitu juga memenuhi semua syarat yang diperlukan setiap unsur tersebut.
Pengaruh akad yang sahih ialah menimbulkan akibat hukum, yaitu memberikan hak kepemilikan bagi masing-masing pelaku akad pada obyek akad segera setelah terjadi ijab kabul, selama tidak ada hak khiyar (hak memilih antara melanjutkan atau membatalkan akad).
Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih ialah akad yang tidak memenuhi semua unsur asasinya dan syarat-syaratnya. Contohnya ialah seperti pihak yang mengadakan akad terdiri dari orang yang tidak mempunyai kecakapan. Obyek akadnya berupa bangkai atau darah atau babi atau khamr.
Mayoritas fuqaha (ahli fiqih) memandang bahwa dalam akad yang tidak sahih ini telah tercakup akad yang batil. Jadi akad yang tidak sahih sama artinya dengan akad yang batil.
Akad Yang Makruh Tahrim
Akad batil dilarang karena persoalan asasi. Sedangkan akad yang fasid dilarang karena sesuatu keadaan. Sehubungan dengan pembahasan tentang akad fasid di atas, patut kiranya dikemukakan di sini beberapa bentuk akad yang disoroti islam karena merugikan atau ketidakjelasan. Meskipun demikian syariat memandangnya sah.
An Najsy. Caranya ialah A mempunyai barang yang dijual. Kemudian datang B memberinya harga yang lebih tinggi, bukan karena ia akan membelinya, tetapi untuk menipu orang lain agar berani membelinya lebih mahal, sehingga pemiliknya mendapat untung lebih besar. Hukum an-najsy adalah haram, karena Rasulullah Muhammad saw melarangnya.
ﮫ و: ال صه ھﻠﻼ زﺳﻞ ى ع ھﻠﻼ ى ه ◌◌ س◌ ه ا ﻋﮫ م نىجش
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa ia mengatakan : „Rasulullah saw melarang najsy‟.
Al Jalb. Caranya ialah sebagian pedagang di kota atau kampung menghadang para pedagang yang membawa barang dari luar kota atau kampung pada suatu tempat untuk membeli barang-barang mereka sebelum mereka tiba di pasar utama. Setelah membelinya lalu menjualnya kepada penduduk di kota atau kampung.
Hukumnya, menurut mazhab Hanafi adalah makruh tahrim (mendekati haram) jika merugikan penduduk. Tetapi boleh-boleh saja jika tidak merugikan para pedagang dengan cara menggunakan ketidaktahuan para pedagang akan harga pasaran yang sebenarnya, sehingga mereka dapat membeli barang-barang dengan harga yang lebih murah dan menjualnya dengan harga pasaran.
Melakukan akad jual beli setelah terdengar azan shalat Jumat. Waktu shalat Jumat menurut jumhur fuqaha‗ ialah sejak Imam naik mimbar hingga selesai shalat Jumat. Menurut mazhab Hanafi, sejak azan pertama. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukum jual beli pada saat tersebut. Menurut mazhab Hanafi hukumnya sah tetapi makruh (sebaiknya tidak dilakukan). Menurut mazhab Syafii hukumnya sah juga tetapi haram (mesti tidak dilakukan), karena firman Allah Ta‗ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat Jumat) dan tinggalkanlah jual beli.”
Demikian juga hukum akad-akad selain jual beli harus ditinggalkan setelah Imam naik mimbar, karena akan mengganggu pelaksanaan shalat Jumat. Jelas larangan melakukan akad jual beli dan lain-lain pada saat tersebut tidak menyentuh hakikat akad itu sendiri, tetapi menyentuh waktu akad yaitu akad dilakukan pada waktu shalat Jumat. Akad pada waktu tersebut akan menghambat pelaksanaan kewajiban lain yaitu shalat Jumat.
Dari segi nama (akad Musammah dan ghairu musammah)
Dalam syariat Islam terdapat akad musammah (diberi nama/ditentukan) yaitu akad yang telah diberi nama khusus oleh syariat Islam. Hukum-hukumnya pun dijelaskannya. Contohnya ialah bai, ijarah, hibah, kafalah, dan lain-lain.
Apakah masyarakat Islam hanya terikat dengan cara-cara akad yang telah ditetapkan saja? Sejarah membuktikan bahwa dalam masyarakat Islam muncul akadakad baru yang belum dikenal sebelumnya dalam syariat Islam. Sebabnya ialah pendapat yang terkuat dalam fiqh muamalat ialah bahwa syariat Islam mengizinkan kepada masyarakat Islam membuka akad-akad baru selam tidak melanggar teks, prinsip dan asas-asas syariat Islam.
Mazhab-mazhab fiqh sepakat tentang terbukanya peluang membuka akad- akad baru tersebut. Hanya saja terdapat perbedaan metode penetapannya. Misalnya mazhab Hanafi, Maliki dan Syafii menetapkan akad-akad baru dengan menggunakan sumber-sumber hukum seperti qiyas (menyamakan hukumnya dengan hukum akad-akad musammah) atau „uruf (adat kebiasaan), mashlahah (manfaat), dan lain-lain. Sedangkan mazhab Hambali menggunakan kaidah umum akad baru dapat dibuat apabila tidak melanggar teks, prinsip dan asas-asas syariat Islam. Jelaslah semua akad baru tersebut harus mempunyai landasan hukum dari syariat Islam.
Karena itulah dalam norma-norma akad dalam fiqh Islam terdapat akad ghairu musammah (yang tidak diberi nama/tidak ditentukan) yaitu akad yang tidak diberi nama khusus dalam syariat Islam, tetapi dibuat dan diberi nama oleh para fuqaha‗ (ahli fiqh) sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Contohnya seperti ( ا istishna), ( ب ءافنا bai‟ al wafa), ( ا ﻧﺤﺤﻜﺲ tahkir), ت لا ◌ ت ا ﻧﻖﻤا ( ﺷﺴﺮ ا macam-macam perusahaan pemborongan), ن ل ﻋﺎ ل اا ◌ ن ﯨﺶس ة د ا ◌ ﻖﻋ (akad untuk iklan) dan lain lain.
Dari segi cara pelaksanaannya (form)
Ada akad yang harus dilaksanakan dengan cara tertentu seperti perkawinan harus disaksikan oleh saksi. Namun ada pula akad yang cukup dengan adanya ridha (suka sama suka). Sebelum dakwah Muhammad saw telah dikenal akad- akad dengan cara-cara tertentu. Dalam masyarakat Romawi dikenal akad-akad dengan cara-cara khusus. Misalnya kontrak jual beli, perkawinan, dan lain-lain, mempunyai cara-cara tertentu. Jika cara-cara yang ditentukan tidak dilaksanakan, maka akad tidak sah.
Contohnya mereka mensyaratkan kehadiran benda yang dijual di tempat akad jual beli. Sehingga hanya benda bergerak saja yang dapat diperjualbelikan. Bagi orang yang terpaksa menjual benda tidak bergerak seperti tanah, ia harus membawa sebagian tanahnya ke tempat akad jual belinya, sebagai simbol kehadiran tanah di tempat akad jual beli. Ini membuktikan bahwa akad yang berlaku dalam masyarakat Romawi selalu tunduk kepada cara-cara khusus. Mereka belum memperhitungkan suka sama suka, baik dalam jual beli, sewa menyewa, maupun perkongsian, kecuali dalam keadaan darurat.
Al Quran dan Sunnah lebih mempermudah kontrak jual beli dengan cara :
Membebaskan akad jual beli dari berbagai cara yang tampak sebagai perbuatan yang tidak berarti.
Menjadikan ridha (rela) sebagai asas dalam akad, bukan cara-cara khusus.
◌ ج لا رأه ◌ أ ام ◌ ب ﯨٍﺑﻢﻜ اﻧﻜ ﻢ ا انبطام ﺟﻚ نأ لا ◌ ا ﺟﺞ ن ز ج ﻋﮫ ة ﻜﯨﻣ ﻢ ﺳﺎ ض
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Rasulullah saw juga menjelaskan : “Jual beli itu hendaklah dilandasi suka sama suka.”
Dari sini lahirlah ijab qabul sebagai pengungkap ridha (rela) tersebut. Karena itu akad jual beli dipandang sah apabila mengandung hal-hal sebagai berikut :
Ijab qabul sebagai pengungkap rasa ridha (rela) secara penuh untuk mengadakan akad jual beli.
Ijab qabul tersebut dilakukan oleh orang yang mempunyai ahliah (kecakapan menurut hukum untuk mengadakan kontrak).
Namun demikian tidak berarti Islam menghapus cara-cara khusus secara keseluruhan. Buktinya Islam masih mendang perlu diadakan cara-cara khusus dalam sebagian kontrak, yaitu :
Apabila cara khusus tersebut menyentuh tujuan kontrak. Contohnya Islam menetapkan bahwa kontrak sumbangan dan gadai baru sah jika barang yang disumbangkan dan digadaikan telah diterima oleh yang menerima sumbangan dan yang menerima gadai.
Apabila cara khusus tersebut menjadi landasan buat terwujudnya suatu kepentingan yang berarti. Contohnya Islam menetapkan bahwa kontrak akad nikah hanya sah jika disaksikan oleh dua orang saksi.
Dari segi mengikat dan kemungkinan pembatalannya
Termasuk dalam bagian empat macam akad, yaitu :
Akad yang lazim (mengikat) bagi kedua pihak yang mengadakan akad dan tidak dapat diputuskan seperti akad nikah. Ia tidak dapat dihapus, namun dapat diakhiri dengan cara yang sah seperti melalui talak, khulu’, putusan peradilan.
Akad lazim (mengikat) bagi kedua pihak yang mengadakan akad dan dapat di fasakh (diputuskan) dengan persetujuan kedua pihak, seperti semua akad yang tidak mengikat seperti jual beli, perdamaian, dan lain- lain
Akad lazim (mengikat) salah satu pihak saja seperti gadai, kafalah (jaminan). Akad ini mengikat bagi kafil (penjamin/penanggung) dan mengikat bagi yang dijamin. Karena jaminan diadakan buat kepentingan pribadinya, karena itu ia berhak melepaskannya bila ia menghendaki.
Akad-akad yang tidak lazim (tidak mengikat) bagi kedua pihak yang mengadakan akad, yaitu kedua pihak berhak menarik kembali dan membatalkannya seperti wadiah (titipan), ijarah (pinjaman), wakalah (perwakilan).
Dari segi tukar menukar hak (tabadul al huquq)
Akad dari segi ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu :
Akad mu’awadhat (tukar menukar) yaitu masing-masing pihak yang mengadakan akad saling mengambil dari yang lain, seperti jual beli (pembeli mengambil dari penjual barang yang dijual dan penjual mengambil dari pembeli harganya) dan sewa menyewa.
Akad tabarru’at (sumbangan) yaitu pemberian atau bantuan dari salah satu pihak seperti hibah dan pinjaman.
Akad mengandung makna tabarru‟ (sumbangan) tetapi berakhir dengan mu‟awadhat (tukar menukar) seperti pinjaman uang, kafalah (jaminan) dan hibah dengan syarat ada imbalan.
Dari segi akibat akad
Dari segi ini akad dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu munjaz, mudhaf dan mu‟allaq.
Akad munjaz ialah akad yang diucapkan tanpa menggunakan syarat. Akibatnya terwujud ketika akad berlangsung, selama memenuhi rukun dan syaratnya, seperti penjual mengatakan : saya jual sepeda ini kepada Anda. Akibat hukumnya ialah perpindahan kepemilikan dari penjual kepada pembeli, begitu juga perpindahan kepemilikan harga dari pembeli kepada penjual.Secara prinsip, akibat hukum akad seperti ini terjadi setelah berlangsung akad, kecuali akad wasiat dan isha‗ (wasiat dari seorang ayah kepada laki-laki lain yang isinya ―apabila ia meninggal dunia ia minta kesediaannya menjadi wali/pengurus anaknya yang masih kecil‖)
Akad yang dimudhafkan (disandarkan kepada masa datang), yaitu akad yang diucapkan dengan ketentuan pelaksanaannya pada masa akan datang, seperti pemilik rumah mengatakan : saya sewakan rumah saya ini kepada Anda selama satu tahun terhitung sejak awal bulan depan. Secara hukum akad ini sudah sah (terwujud) pada saat berlangsungnya akad akan tetapi akibat hukumnya akan terwujud pada waktu yang telah ditentukan pada masa selanjutnya.
Akad mu‟allaq (pakai syarat) yaitu akad yang diucapkan dengan menggunakan kata yang mengandung makna persyaratan, seperti jika saya berangkat ke Surabaya, maka saudara menjadi wakil saya.Akad ini belum terwujud kecuali ketika terwujud syaratnya. Ada beberapa akad yang tidak dapat disertai syarat yang mengakibatkan tidak jelas masa depannya (membuatnya antara ada dan tidak ada). Contohnya akad yang mengakibatkan pemindahan hak milik harta seperti jual beli. Akad seperti ini tidak dapat disertai syarat seperti tersebut, karena kepemilikan harus tegas. Jika tidak tegas ia menjadi mirip dengan judi.
Dari segi tujuan akad
Dari segi ini akad terbagi kepada 5 bagian, yaitu :
Menimbulkan milik seperti jual beli.
Menimbulkan kebersamaan seperti syarikah dan mudharabah.
Menimbulkan jaminan seperti kafalah.
Menimbulkan mandat dan perwakilan seperti wakalah.
Menimbulkan pemeliharaan seperti wadiah.
Dari segi segera dan kelestariannya
Akad dari segi ini terbagi kepada dua bagian, yaitu :
Akad segera, yaitu pelaksanaannya dengan segera dan sekaligus pada waktu yang dipilih kedua pihak yang mengadakan akad seperti jual beli, meskipun pembayarannya ditunda.
Akad yang berkelanjutan, yaitu akad yang pelaksanaannya berlangsung hingga suatu masa, sehingga masa merupakan unsur asasi dalam pelaksanaannya, seperti sewa menyewa, pinjam meminjam, wakalah (perwakilan). Karena itu akad-akad ini disebut akad bermasa.
Sumber : Buku Wajib Fungsionaris KSEI FE Unnes 2016
Komentar