Al kisah, ada seorang ibu tukang penjual sayur keliling
bernama Ibu Romla. Karena keterbatasan modal, dan tak memiliki apapun untuk
dikonversikan menjadi modal ia terpaksa harus mencari pinjaman. Tak adanya akses untuk meminjam modal usaha ke bank
karena tak punya apa-apa untuk dijadikan agunan, terpaksa si ibu meminjam uang
kepada rentenir dengan bunga 20 persen sebulan. Bandingkan dengan tingkat suku
bunga kredit komersil bank konvensional yang kini hanya berkisar 11-14
persen/tahun (Jawa Pos, 4 Juli 2009). Segala usahanya berjualan keliling
harus ada ‘uang mati’, dalam arti uang yang harus disisihkan untuk mencicil
hutang beserta bunganya. Si rentenir rupanya
sedikit berbaik hati dengan "belanja" pada ibu Romla rata-rata Rp 10
ribu setiap hari. Ia tidak perlu membayar belanjaannya, cukup dihitung dengan
teliti kemudian mengurangi jumlah bunga yang harus dibayar ibu Romla atas
pinjamannya. Rata-rata sepuluh ribu setiap hari mungkin sedikit meringankan dan
tidak terlalu besar dibandingkan jika harus membayar sekaligus. Tapi bagi
seorang Romla yang jam 12 malam harus sudah bangun dan segera kulakan ke pasar
kemudian berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain, sejak hari masih
gelap, yang jika sedang hoki paling cepat jam 10 pagi baru bisa pulang ke rumah
atau hingga jam 12 siang jika dagangannya tak cepat laku, nominal itu sangat
luar biasa. Betapa tidak? Dari setengah kilogram daging ayam yang harganya
sekitar Rp 11 ribu, Romla biasanya hanya mengambil keuntungan Rp 500, atau Rp
100 dari seikat bayam yang dijualnya. Dari receh demi receh itulah ia membayar
bunga dan mencicil hutangnya pada rentenir, menghidupi keluarganya dan masih
harus menyisihkan untuk modal berjualan esok harinya.
Sepenggal kisah tersebut
hanyalah satu dari sekian banyak peristiwa yang terjadi di lingkungan kita
sehari-hari. Dalam mensejahterakan hidupnya tentu masyarakat tidak akan lepas
dari kegiatan ekonomi. Maka, sebagian besar manusia untuk bertahan hidup akan
melakukan bisnis. Ada pepatah mengatakan, “kalau bisa bisnis itu aman
(sejahtera) di dunia dan aman (sejahtera) pula di akhirat.” Bagaimana caranya?
Dalam situasi seperti kisah di atas, tentu keberadaan lembaga kredit sangat membantu. Pengelolaan lembaga kredit sekaligus dapat menjadi lading bisnis bagi pelakunya. Salah satu bisnis berbasis syariah yang kini sedang mengalami perkembangan bagus adalah perbankan syariah. Sejak diperkenalkan pada tahun 1992 melalui Bank Muamalat Indonesia, industri perbankan syariah terus menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari perkiraan. Hal ini yang mendorong bank-bank konvensional ikut berlomba membuka divisi syariah karena minat masyarakat yang demikian tinggi pada produk perbankan syariah. Namun dewasa ini, tren keuangan syariah mengalami stagnasi.
Seperti dipaparkan oleh
Sigit Pramono (Ketua STIE SEBI) pada 6 Maret 2016, bahwa pangsa pasar keuangan
syariah di Indonesia masih sekitar 5%. Stagnansi perbankan syariah pada 2012-2015
menandakan industri ini butuh stimulus. Agar bisa tumbuh kembali, perbankan
syariah bisa menangkap potensi pedesaan (www.republika.co.id) Lalu
bagaimana seharusnya mengoptimalkan bank syariah untuk menangkap peluang di
pedesaan?
Belajar dari
Grameen Bank
Muhammad Yunus pada tahun 1970-an melalui Grameen
Bank-nya berhasil membuktikan bahwa gerakan nyata untuk mendayagunakan ekonomi
masyarakat bawah bisa berjalan. Salah satu ciri unik Grameen Bank yang
didirikan di Bangladesh adalah pola pemberian kredit yang disandarkan pada
pembentukan kelompok kecil penerima kredit. Satu kelompok terdiri dari lima
orang yang saling bantu dan mengawasi dalam proses income generating (aktifitas yang mendatangkan penghasilan). Hanya
dua orang dari mereka yang diperkenankan meminta kredit dari bank dan jika
mereka tidak bermasalah dalam pengembalian kreditnya, dua orang lainnya dalam
kelompok boleh ikut meminjam, dan jika semua sukses si orang kelima bisa
mengajukan kredit pada bank. Dukungan moral dari sesama anggota kelompok
peminjam menjadi pemacu pengembalian kredit secara disiplin. Hanya sebagian
kecil dari kreditor yang gagal mengembalikan kredit, sebagian besar (98,85%)
mengembalikannya secara penuh tepat pada waktunya.
Grameen Bank berhasil menjadi pemecah mata rantai lingkaran setan yang diciptakan antara kemiskinan dan permodalan. Dukungan anggota kelompok dalam proses peminjaman kredit menjadi pengganti perlunya agunan di Grameen Bank. Dalam praktik ekonomi kapitalisme yang umum berlaku, setiap peminjam kredit harus mempunyai sejumlah agunan sebagai jaminan bagi bank. Dengan adanya syarat ini, rakyat miskin yang tidak punya apa-apa tidak mungkin mendapat kesempatan mendapatkan modal dalam upayanya meningkatkan penghasilan. Upaya yang dilakukan Muhammad Yunus dan Grameen Bank terus berkembang pesat dan yang sangat menarik adalah bahwa 97% diantara peminjam adalah perempuan yang mampu berrevolusioner memutus rantai kemiskinan. Hingga kini model Grameen Bank telah direplikasi oleh lebih 250 lembaga keuangan mikro di hampir 100 negara.
Rekonstruksi
Gramen Bank ala Indonesia
Sebagaimana
Bangladesh, Indonesia ialah negara berkembang yang didominasi oleh masyarakat
menengah ke bawah. Aktivitas ekonomi sebagai kontributor terbesar dari GDP
dimainkan oleh sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sekaligus sebagai
pencipta 96% lapangan kerja nasional. Di samping itu, ia menjadi bisnis yang
berkembang paling pesat menurut SME Statistics,
2005 yaitu mencapai 14.9%, sedangkan pada Usaha Besar hanya 6,2%. (Ministry of Cooperative, Small & Medium
Enterprises, 2006).
Konsep Grameen Bank utamanya
ialah memberikan kredit mikro bagi orang miskin tanpa agunan. Bukan orang
miskin namanya kalau ia punya tanah dengan akta yang lengkap. Tidak bisa
disebut orang papa mereka yang punya BPKB, dan tidak disebut fakir seseorang
yang memiliki surat jaminan lain. Maka dari itu, saat rakyat miskin membutuhkan
modal untuk usaha, lembaga keuangan wajib mempermudah.
Sebenarnya sejak awal
didirikan Grameen Bank tidak pernah menyandang nama syariah. Namun dalam
perjalanannya bank ini menebarkan banyak nilai-nilai kemanusiaan. Penghapusan kemiskinan, penyediaan
pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja bagi kaum miskin, kesetaraan
jender melalui pemberdayaan perempuan serta memastikan kesejahteraan manula,
semua merupakan tujuan-tujuan sosial yang menjadi komitmen Grameen Bank.
Grameen menentang kerangka kelembagaan yang ada sekarang, Grameen menentang
perekonomian yang didasarkan pada ketamakan bisnis, Gramen ingin menciptakan
perusahaan-perusahaan yang sadar sosial untuk menyaingi perusahaan-perusahaan
yang tamak. Grameen bukanlah bank non riba, Grameen bank menyalurkan tiga jenis
kredit dan membebani masing-masing kredit tersebut dengan tingkat bunga berbeda.
Untuk itulah, perlunya
rekonstruksi Grameen Bank ala Indonesia. Peluang adopsi prinsip-prinsip
perbankan sebagaimana Grameen Bank dapat diterapkan oleh Baitul Maal wat Tamwil
(BMT), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Badan Perkreditan Rakyat Syariah
(BPR), bahkan oleh Bank umum Syariah sekalipun dengan tetap memegang
nilai-nilai Islam. Lembaga keuangan syariah tidak bisa sekadar berbeda dalam
memberikan keuntungan untuk nasabah dengan model bagi hasil. Sebab suatu bank
disebut syariah tidak cuma berdasar ketiadaan riba. Namun, sebagai bank dengan
basis syariah, ia mesti mampu mengejawantahkan prinsip-prinsip Islam dalam
segala aktivitasnya. Dan dari noktah itulah seharusnya semua bank syariah harus
memberikan kemudahan untuk rakyat miskin yang mau berusaha. Ingat, tanpa
agunan! Yang harus dilakukan ialah memandu mereka agar usaha yang dilakukan
memang punya prospek menguntungkan.
Dengan beberapa nasabah dalam satu lingkup juga memudahkan bank syariah melakukan pembinaan usaha, akidah, soal bisnis, dan hal lain sesuai dengan produk bank itu sendiri. Semangatnya ialah pemberdayaan, mengangkat harkat rakyat miskin agar bisa percaya diri dengan usaha mandiri. Dan lagi-lagi, Grameen Bank sudah memberikan contoh nyata yang aplikatif.
Hal tersebut dapat
diterapkan secara bertahap. Berawal dengan memberikan kredit usaha tanpa agunan
kepada rakyat miskin. Pemberian kredit ini tentu saja dengan semua kemudahan
dalam memperolehnya. Tanpa surat keterangan usaha dari kepala lingkungan, izin
dari tetangga kiri-kanan, dan mesti melampirkan kartu keluarga. Orang miskin
tidak akan siap dengan semua syarat administrasi semacam itu. Dengan begitu,
perbankan Islam akan dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat. Perbankan
semacam itu juga menjadi promosi gratis buat Islam sebagai agama dan cara
hidup, di tengah kabar soal muslim yang acap dilekatkan dengan teroris, miskin,
dan feodal. Bank syariah harus mau untuk tampil sebagai problem solver atas
masalah kemiskinan. Di tengah menggeliatnya semua bank untuk membentuk unit
syariah dan keberislaman kaum muslimin yang meningkat, potensi untuk
rekonstruksi Grameen Bank yang baru di Indonesia terbuka lebar.
sw
(diolah dari berbagai sumber)
Komentar